Begitupun Vale Indonesia yang semua bahan tambangnya sudah diolah dalam negeri. Vale Indonesia memiliki kontribusi besar yang tak kalah jauh dengan dua perusahaan besar di atas. Pada akhir tahun 2015, Vale membayar pajak pendapatan 40,4 juta dollar AS dan royalti 15,8 juta dollar AS. Vale juga sudah memiliki smelter nikel berkapasitas 72.500 ton per tahun untuk nikel + cobalt in matte. Perusahaan ini menjadi tulang punggung bagi masyarakat lokal di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Pembangunan smelter nikel dan bauksit saja sudah menarik investasi paling tidak 9 miliar dollar AS. Beberapa proyek smelter nikel besar, seperti Eremet dari Perancis yang akan membangun smelter senilai 5 miliar dollar AS di Halmahera, masih menunda konstruksi pabrik karena belum tuntasnya renegosiasi kontrak dengan pemerintah.
Ferdy menambahkan, banyak perusahaan tambang di Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera harus merumahkan ribuan pekerja tambang karena operasi tambang terhenti akibat kebijakan ekspor. Bahkan, pasca pelarangan ekspor, ada perusahaan yang mengalami zero revenue (tanpa pendapatan) dan harus merumahkan ribuan pekerja tambang. Cita Mineral, anak usaha Harita Group, misalnya, sejak tahun 2014 dan 2015 menderita zero revenue karena operasi tambang bauksit terhenti.
Cita Mineral adalah perusahaan pengekspor bauksit terbesar (di atas 10 juta ton per tahun sebelum pelarangan ekspor). Sebelum kebijakan ekspor, Cita Mineral mampu meraup keuntungan Rp 629 miliar dan penjualan Rp 4,12 triliun dari bauksit mentah tahun 2013. Namun, Cita Mineral bisa mendapat keuntungan besar karena smelter grade alumina(SGA) dengan investasi 1 miliar dollar AS sudah dikerjakan hampir 50 persen. Setelah proyek smelter tuntas, besar kemungkinan Cita Mineral akan mendapat untung berlipat-lipat dan pembayaran ke penerimaan negara juga menjadi sangat besar.
"Negara memang mendapat keuntungan penerimaan negara dari tambahan royalti dan pajak dalam jangka pendek dari kebijakan relaksasi ekspor. Namun, masih terlalu kecil. Indonesia, misalnya, hanya memperoleh pendapatan sekitar 800 juta dollar AS dari ekspor biji bauksit, sementara potensial nilai ekspor jika kita memproduksi aluminium ingot sekitar 15 miliar dollar AS. Jadi, kebijakan relaksasi ekspor mineral hanya upaya untuk menutup defisit jangka pendek," tutup Ferdy.