Selera Risiko Meningkat, Rupiah Menguat

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 04 Oktober 2016 | 13:56 WIB
Selera Risiko Meningkat, Rupiah Menguat
Mata uang Dolar AS dan Rupiah di salah satu gerai Money Changer di Jakarta, Senin (11/5). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jameel Ahmad, VP of Market Research Forextime mengatakan bahwa kurs Rupiah memulai pekan trading ini dengan cukup bergairah. USDIDR tetap berada di bawah level psikologis penting 13000. Ada sejumlah alasan mengapa sentimen terhadap Rupiah terus membaik, termasuk meningkatnya selera risiko pasca hasil rapat informal OPEC pekan lalu yang memberi kejutan.

"Ketidakpastian kebijakan suku bunga AS di akhir 2016 juga mendukung aset pasar berkembang," kata Jameel dalam keterangan tertulis, Selasa (4/10/2016).

Dari dalam negeri, komentar dari Deputi Gubernur Bank Indonesia bahwa Rupiah dapat semakin menguat juga memperbesar minat beli. Selain itu, hasil positif program amnesti pajak pun mendukung arus masuk Rupiah.

 Liburnya berita tentang Deutsche Bank mendukung ekuitas

Perdagangan di pasar finansial di pekan ini juga dibuka dengan positif karena meningkatnya selera risiko setelah adanya berita di akhir pekan lalu bahwa Deutsche Bank dalam proses menyetujui denda yang lebih rendah untuk pelanggarannya. Hari ini adalah libur nasional di Jerman sehingga berita tentang Deutsche Bank pun libur. Berakhirnya kekhawatiran tentang kondisi salah satu institusi investasi terbesar di dunia ini akan memperbaiki sentimen terhadap sektor perbankan secara keseluruhan dan mengurangi risiko terhadap pasar modal secara signifikan.

PM Inggris memastikan Pasal 50, GBP anjlok

Berita besar di akhir pekan lalu adalah bahwa Perdana Menteri Inggris Theresa May akhirnya memberikan perkiraan lini waktu kapan Pasal 50 akan diberlakukan. Perdana Menteri Inggris menjadwalkan untuk mengaktifkan Pasal 50 sebelum Maret 2016 sehingga minat investor terhadap poundsterling (GBP) menurun dan mata uang ini merosot ke level terendahnya dalam hampir tiga bulan ini terhadap USD di angka 1.2844. 

Investor sekarang merefleksikan risiko yang lebih tinggi ke dalam nilai tukar GBP dan walaupun GBPUSD telah melemah dari 1.50 tahun ini menjadi 1.28, perlu kita perhatikan bahwa penurunan sejauh ini terjadi karena hasil referendum Uni Eropa yang mengejutkan, bukan karena Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa. Pemerintah Inggris menghadapi masa yang tidak mudah dalam mempersiapkan untuk keluar dari Uni Eropa. Karena itu, saya pribadi meyakini bahwa GBP akan terustertekan untuk periode yang cukup panjang.  

Proses pengaktifan Pasal 50 dan negosiasi dengan Uni Eropa dikabarkan akan membutuhkan waktu dua tahun. Jadi apabila ada isyarat bahwa proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak akan memakan waktu dua tahun, investor akan bereaksi drastis.

"Saya tetap berpendapat bahwa secara realistis GBPUSD dapat menyentuh antara 1.20 dan 1.25 di akhir tahun ini.  Alasan mengapa saya memprediksi bahwa GBP akan semakin melemah adalah karena sejauh ini nilai tukar GBP hanya merefleksikan hasil referendum Uni Eropa. Pemerintah Inggris masih harus memulai proses pelaksanaan keinginan voter yaitu keluar dari Uni Eropa dan implikasi dari proses ini tentu berpotensi memengaruhi sentimen investor," ujar Jameel.

Karena saat ini nilai tukar GBP baru merefleksikan hasil referendum saja, masih ada begitu banyak hal yang belum kita ketahui tentang apa yang akan terjadi dengan proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa di masa mendatang dan begitu banyak risiko yang harus diperhitungkan oleh investor.

Peningkatan harga minyak masih harus diwaspadai 

Pasar minyak terus menguat setelah berita mengejutkan bawah OPEC berhasil mencapai kesepakatan awal untuk memangkas level produksi dalam rapat informal pekan lalu. Harga WTI menguat sekitar $4 dan mencapai level $49 yang belum pernah terjadi sejak pertengahan Agustus ini. Walaupun menguatnya harga minyak membantu mendongkrak selera risiko dan mendukung aset berisiko termasuk mata uang pasar berkembang, saya berpendapat bahwa investor perlu berpikir ulang sebelum merefleksikan koreksi lebih lanjut pada harga minyak. 

OPEC memang menjadwalkan pemangkasan produksi minyak sebesar 700.000 barel per hari, namun jangan lupa bahwa berita ini masih harus dikonfirmasikan secara resmi di bulan November dan pasar minyak masih menderita oversuplai serius saat ini. Kita juga perlu memperhatikan bahwa sejumlah anggota OPEC memproduksi minyak pada rekor level tertinggi dan diperlukan tingkat kepercayaan tersendiri dalam grup ini untuk dapat mendukung kuota produksi yang akan dipastikan di bulan November. 

Anggota non-OPEC juga harus kooperatif dalam hal level produksinya untuk dapat mendukung koreksi harga komoditas ini di jangka yang lebih panjang. 

Saya pribadi masih mempertahankan pendapat saya sejak April 2016 bahwa harga minyak mentah WTI harus berhasil ditutup di atas 51 Dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan mingguan sebelum kita dapat membahas apakah harga minyak dapat ditutup di atas 50 Dolar AS di akhir tahun ini. Sampai hal itu tercapai, level harga antara 48.50 Dolar AS - 50 Dolar AS tetap menjadi zona jual potensial yang dapat mengantarkan harga komoditas ini ke level sebelum terjadinya peningkatan. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI