Republik Rakyat Cina (RRC) melalui General Administration of Quality Supervision, Inspection, and Quarantine (AQSIQ) pada 8 Agustus 2016 kembali memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang terdapat penyebaran virus Zika. Ketentuan ini diberlakukan selama 12 bulan terhitung sejak dikeluarkannya pengumuman AQSIQ dan diterapkan secara acak.
Dasar AQSIQ mengeluarkan keputusan tersebut setelah melihat laporan Zika Virus Situation Report-World Health Organization (WHO). Laporan ini memasukkan Indonesia sebagai negara dengan resiko penyebaran Virus Zika. Selain Indonesia, negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Viet Nam, serta Singapura (yang saat ini ditemukan kasus penularan Zika paling tinggi) juga terkena aturan yang sama.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward menyatakan masuknya Indonesia dalam daftar ini berdampak pada kewajiban bagi eksportir Indonesia menunjukkan dokumen fumigasi per kontainer. Dokumen ini sebagai bukti tidak terjangkit virus Zika.
“Dokumen tersebut harus dapat membuktikan bahwa tiap kontainer tidak terjangkit virus Zika saat proses produksi dan juga selama dalam proses importasi. Jika tidak dapat menunjukkan dokumen pembuktian tersebut, maka produk yang diimpor akan dikenakan proses fumigasi di lokasi pelabuhan bongkar RRC,” terang Dody.
Dody melanjutkan proses fumigasi di lokasi pelabuhan bongkar RRC dikenakan biaya mencapai RMB 200-500 atau setara dengan Rp 400.000-Rp 1.000.000/kontainer.
“Ketentuan ini telah menambah beban biaya kepada pelaku ekspor Indonesia ke RRT dalam bentuk pengenaan biaya fumigasi di pelabuhan tujuan ekspor dan berakibat pada menurunnya daya saing produk ekspor Indonesia di RRC,” ujarnya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag, Pradnyawati menyatakan Kemendag berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan melakukan sosialisasi kepada dunia usaha tentang kasus ini. Konsultasi dengan WHO juga dilakukan untuk menangani kasus Zika. Selain itu, Kemendag juga melakukan koordinasi dengan Atase Perdagangan di Beijing terkait dokumen yang dibutuhkan agar pelaksanaan ekspor Indonesia ke RRT tidak mengalami hambatan.
“Sambil menunggu informasi dari Atase Perdagangan di Beijing, diharapkan eksportir mempersiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Selain itu, asosiasi diminta dapat menyampaikan informasi penting ini kepada anggota guna menghindari terganggunya aktivitas ekspor ke RRC,” ujar Pradnyawati.
Kinerja ekspor nonmigas dari Indonesia ke RRC pada 2015 menurun menjadi 13,26 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) dari 2011 yang mencapai 21,59 miliar Dolar AS dengan tren penurunan sebesar 11,42 persen selama lima tahun terakhir.
Sementara periode Januari - Juli 2016, nilai ekspor nonmigas Indonesia juga mencatatkan penurunan sebesar 9,63 persen, menjadi 7,00 miliar Dolar AS dari 7,76 miliar Dolar AS (YoY). Produk utama ekspor nonmigas Indonesia ke RRC pada 2015 di antaranya adalah batu bara, minyak kelapa sawit, wood pulp, kelapa, plywood, fatty acid, dan karet alam.