Muhammad Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa pengendalian impor komoditas pangan kembali memakan korban, yaitu dugaan keterlibatan ketua DPD RI, Irman Gusman. Kasus Irman berkaitan dengan upaya mempengaruhi penentuan kuota impor gula Tahun 2016.
Saat ini, Ketua DPD RI ditetapkan sebagai tersangka oleh KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) setelah sebelumnya dilakukan operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap Rp100 juta," kata Syarkawi dalam keterangan resmi, Minggu (18/9/2016).
Menurut Syarkawi, penangkapan Ketua DPD RI bersumber dari rezim kebijakan kuota impor komoditas pangan di Indonesia yang bermasalah dari sisi hukum pidana maupun dari sisi Hukum persaingan usaha. Secara pidana, instrumen kebijakan quota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dalam menentukan pemegang kuota impor.
Apa lagi dalam hampir semua komoditas pangan terdapat disparitas harga yang sangat besar antara harga dalam negeri dengan harga luar Negeri. Hal ini memberi insentif bagi Calon pemegang quota untuk menyuap Dalam jumlah sangat Besar.
Sebagai Contoh Dalam Kasus gula impor, selisih antara patokan harga pembelian oleh Pemerintah dengan harga Luar negeri yang bisa lebih dari dua kali lipat. "Harga pokok gula di dalam negeri mencapai sekitar 9.000 rupiah per kg, sementara harga swasta domestik sekitar 4.500 rupiah dan harga Internasional lebih murah lagi," ujar Syarkawi.
Disparitas harga domestik (harga pokok pembelian yang ditetapkan Pemerintah) dan harga Internasional yang sangat lebar ditambah dengan buruknya governance, ditandai birokrasi yang tidak transparan dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktek korupsi. Bahkan juga sangat rentan memicu persekongkolan untuk mengendalikan harga Komoditas pangan di dalam negeri (kartel).
Rezim kuota impor komoditas pangan juga rawan menyebabkan praktek kartel, yaitu persekongkolan dalam mengatur pasokan komoditas pangan Ke pasar (kartel pasokan) atau persekongkolan Dalam menetapkan harga (price fixing). Kartel pangan menyebabkan harga pangan di konsumen menjadi mahal dan memberikan keuntungan sangat eksesif kepada pelaku kartel.
Kebijakan kuota secara tidak langsung berpotensi memfasilitasi terjadinya kartel pangan karena pemberian kuota yang tidak transparan dan diduga melalui proses persekongkolan (korupsi) yang menyebabkan pemberian kuota impor hanya kepada pelaku usaha tertentu yang terafiliasi satu sama lainnya. Dimana, kuota impor seolah-olah diberikan kepada puluhan perusahaan tetapi setelah diperiksa secara reliti dan detail, kuota tersebut hanya terpusat pada maksimum lima group perusahaan.
"Rezim kuota impor menciptakan struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli. Hal ini memudahkan terjadinya praktek kartel yang mengeksploitasi pasar dengan harga mahal untuk memperoleh keuntungan yang eksesif. Modus ini sangat mungkin terjadi jika pemberian kuota impor dilakukan secara bersekongkol dan tidak transparan," jelas Syarkawi.
Rezim kuota impor juga menyebabkan harga komoditas pangan di dalam begeri menjadi sangat tinggi dan berfluktuasi. Hal ini dimulai dati rendah nya akurasi data pemerintah Dalam menentukan total produksi atau pasokan dan juga konsumsi komoditas pangan di dalam negeri. Lemahnya akurasi data oleh pemerintah menyebabkan overestimate (berlebih) dalam menentukan besaran produksi. "Bahkan dalam beberapa kasus underestimate (kekurangan hitung) dalam menentukan tingkat konsumsi per kapita per tahun," tambah Syarkawi.
Apa lagi terdapat keinginan yang sangat kuat bagi Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dalam jangka pendek. Implikasi lanjutannya adalah adanya dorongan untuk menaikkan estimasi produksi pangan di dalam negeri menjadi overestimate (kelebihan hitung).
Overestimate dalam menghitung produksi pangan di dalam negeri berujung pada lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional dari produksi di dalam negeri dan juga menyebabkan underestimate (kekurangan hitung) dalam menetapkan jumlah impor Komoditas pangan.
Overestimate data produksi dan underestimate dalam penetapan quota menyebabkan kekurangan pasokan di Dalam negeri. Apa lagi pengalaman selama ini, realisasi impor untuk setiap komoditas pangan selalu lebih rendah dari besarnya quota impor yang diberikan kepada pelaku Usaha. "Implikasinya, harga pangan di dalam negeri menjadi mahal yang menguntungkan importirnya dengan margin yang tinggi," tutur Syarkawi.
Sehingga pola pemberian kuota yang diduga syarat korupsi akan bermuara pada kartel pangan, kelangkaan barang, dan harga tinggi yang merampas pendapatan masyarakat berpendapatan tetap dan rendah. Kebijakan quota yang dilakukan secara KKN menyebabkan harga komoditas pangan sangat tinggi dan volatile (berfluktuasi).
Pemerintah perlu solusi yang komprehensif dalam tatakelola komoditas pangan nasional sekaligus mengikis habis potensi praktek korupsi dan kartel dalam tata kelola pangan nasional.
Langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah:
(1) Membenahi di hulu produksi dengan meningkatkan efisiensi produksi pangan nasional. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi disparitas harga pangan impor dan produksi dalam negeri.
(2) Review kebijakan untuk mengubah pola pengendalian impor komoditas pangan. Dari sistem pengendalian langsung lewat kuota yang rawan korupsi dan kartel menjadi pengendalian tidak langsung melalui mekanisme tarif. Pengendalian melalui sistem tarif memberi peluang secara terbuka kepada semua pelaku usaha untuk melakukan impor dengan tarif bea masuk yang ditetapkan Pemerintah. Pola ini mengikis potensi Korupsi, mengurangi konsentrasi pada importir tertentu dan berpotensi menambah Pendapatan Negara dari tarif bea masuk.
(3) Mengubah pola manajemen tataniaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di Hulu (melalui sistem kuota yang rawan korupsi) tetapi sangat liberal (bahkan tanpa pengawasan) di sisi hilir. Pola Manajemen seperti ini sangat rawan korupsi dan praktek kartel untuk memperoleh eksesif profit yang merugikan masyarakat kecil. Idealnya, dalam sistem quota impor dimana hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasokan impor diawasi secara ketat dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun hal ini sulit dilakukan jika sejak awal pemberian kuota terindikasi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).
(4) Dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam pemberian quota. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka dalam penentuan kuota disertai persyaratan harga jual di pasar domestik. Tentu saja perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar.
"Langkah di atas diharapkan dapat membantu memberantas dua penyakit kronis sekaligus, yaitu: (1) memberantas praktek Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN). (2) Memberantas praktek kartel yang bersumber dari pemberian kuota yang tidak transparan dan terpusat pada kelompok kecil perusahaan," tutup Syarkawi.