KPPU Akui Kuota Impor Rawan Persekongkolan dan Kartel

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 20 September 2016 | 06:59 WIB
KPPU Akui Kuota Impor Rawan Persekongkolan dan Kartel
Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta Pusat, Selasa (7/6/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apa lagi terdapat keinginan yang sangat kuat bagi Pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dalam jangka pendek. Implikasi lanjutannya adalah adanya dorongan untuk menaikkan estimasi produksi pangan di dalam negeri menjadi overestimate (kelebihan hitung).

Overestimate dalam menghitung produksi pangan di dalam negeri berujung pada lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional dari produksi di dalam negeri dan juga menyebabkan underestimate (kekurangan hitung) dalam menetapkan jumlah impor Komoditas pangan.

Overestimate data produksi dan underestimate dalam penetapan quota menyebabkan kekurangan pasokan di Dalam negeri. Apa lagi pengalaman selama ini, realisasi impor untuk setiap komoditas pangan selalu lebih rendah dari besarnya quota impor yang diberikan kepada pelaku Usaha. "Implikasinya, harga pangan di dalam negeri menjadi mahal yang menguntungkan importirnya dengan margin yang tinggi," tutur Syarkawi.

Sehingga pola pemberian kuota yang diduga syarat korupsi akan bermuara pada kartel pangan, kelangkaan barang, dan harga tinggi yang merampas pendapatan masyarakat berpendapatan tetap dan rendah. Kebijakan quota yang dilakukan secara KKN menyebabkan harga komoditas pangan sangat tinggi dan volatile (berfluktuasi).

Pemerintah perlu solusi yang komprehensif dalam tatakelola komoditas pangan nasional sekaligus mengikis habis potensi praktek korupsi dan kartel dalam tata kelola pangan nasional.

Langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah:

(1) Membenahi di hulu produksi dengan meningkatkan efisiensi produksi pangan nasional. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi disparitas harga pangan impor dan produksi dalam negeri.

(2) Review kebijakan untuk mengubah pola pengendalian impor komoditas pangan. Dari sistem pengendalian langsung lewat kuota yang rawan korupsi dan kartel menjadi pengendalian tidak langsung melalui mekanisme tarif. Pengendalian melalui sistem tarif memberi peluang secara terbuka kepada semua pelaku usaha untuk melakukan impor dengan tarif bea masuk yang ditetapkan Pemerintah. Pola ini mengikis potensi Korupsi, mengurangi konsentrasi pada importir tertentu dan berpotensi menambah Pendapatan Negara dari tarif bea masuk.

(3) Mengubah pola manajemen tataniaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di Hulu (melalui sistem kuota yang rawan korupsi) tetapi sangat liberal (bahkan tanpa pengawasan) di sisi hilir. Pola Manajemen seperti ini sangat rawan korupsi dan praktek kartel untuk memperoleh eksesif profit yang merugikan masyarakat kecil. Idealnya, dalam sistem quota impor dimana hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasokan impor diawasi secara ketat dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun hal ini sulit dilakukan jika sejak awal pemberian kuota terindikasi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).

(4) Dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam pemberian quota. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka dalam penentuan kuota disertai persyaratan harga jual di pasar domestik. Tentu saja perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI