Sejak dimulainya perundingan putaran pertama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada semester pertama 2012, Indonesia ditunjuk oleh para Menteri Ekonomi ASEAN sebagai koordinator posisi ASEAN dan oleh Menteri dari 16 negara peserta perundingan RCEP sebagai Trade Negotiating Committee atau RCEP-TNC.
“Penunjukan Indonesia sebagai koordinator ASEAN dan Ketua TNC didasarkan pada pemikiran bahwa Indonesia merupakan inisiator RCEP dan memiliki postur yang diperlukan sebagai ekonomi terbesar di ASEAN. Keikutsertaan dalam RCEP dapat menempatkan Indonesia dalam mata rantai pasokan regional melalui investasi asing di sektor produktif dan didukung oleh sumber-sumber produksi yang murah,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sela-sela pembacaan Pernyataan Para Pemimpin RCEP tentang Perkembangan Perundingan RCEP hari ini, Kamis (8/9/2016) di Vientiane, Laos.
Menurut Mendag, perundingan RCEP bermanfaat bagi Indonesia untuk mendapatkan akses pasar yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang didapat dari Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN dengan Negara Mitranya. Dalam perundingan ini pula, apa yang belum didapat Indonesia dari ASEAN+1 FTAs dapat diperbaiki, misalnya akses pasar produk pertanian ke India dan China. Lima belas negara peserta RCEP mewakili 56,2 persen ekspor Indonesia ke dunia dan 70 impor impor Indonesia dari dunia. RCEP juga merupakan 48,21 persen sumber investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) bagi Indonesia.
Total Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara RCEP mewakili 30,4 persen PDB dunia pada 2015 atau sebesar 22,3 triliun Dolar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, total populasi di kawasan RCEP mencakup 47,8 persen dari total populasi dunia atau lebih dari 3,4 miliar jiwa dengan kelas menengah yang tumbuh kuat dibanding kawasan Eropa dan Amerika.
RCEP telah melewati 14 putaran perundingan. Dua putaran yang akan dilaksanakan tahun ini adalah pada Oktober di Tianjin, Republik Rakyat Tiongkok dan pada Desember di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Indonesia.
Hingga putaran perundingan ke-14 pada bulan Agustus 2016 lalu, perundingan masih dihadapkan pada perbedaan posisi yang cukup lebar pada isu perundingan barang, jasa dan investasi. Hal ini menyebabkan TNC tidak dapat memenuhi mandat Pemimpin RCEP pada November 2015 untuk menyelesaikan perundingan hingga akhir 2016.
Menteri RCEP yang bertemu di Vientiane, Laos pada 5 Agustus 2016 menugaskan TNC untuk mengintensifkan perundingan. Guna membantu proses perundingan dan menjaga momentum maka Menteri-menteri RCEP dijadwalkan akan bertemu di Filipina pada awal bulan November 2016 atau sekitar sebulan sebelum putaran akhir tahun diselenggarakan di Indonesia.
Isu kunci yang masih dibahas pemecahannya antara lain adalah penentuan tingkat ambisi penghapusan tarip, liberalisasi sektor jasa dan pembukaan investasi serta parameter untuk mengukurnya. Di satu pihak, sebagian negara peserta perundingan tidak setuju pada usulan ditetapkannya benchmarks, sementara sebagian lainnya memandang perlu adanya benchmarks. Hal lain yang juga sedang diupayakan pemecahannya antara lain adalah keseimbangan antara sebuah perjanjian yang memiliki nilai komersial tinggi, dan ruang bagi negara anggota untuk mengamankan sensitivitasnya di sektor barang, jasa dan investasi terhadap negara peserta tertentu lainnya dalam perundingan ini. Keenambelas negara juga masih membahas cara-cara yang tepat untuk memuat provisi mengenai Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang memperhatikan kesimbangan antara hak-hak investor dan hak pemerintah untuk melakukan pengaturan.
RECP digagas Indonesia pada saat menjadi Ketua ASEAN 2011 untuk mengkonsolidasikan lima perjanjian ASEAN+1 (ASEAN dengan Australia-Selandia Baru, RRT, India, Korea, dan Jepang). Perundingan diluncurkan pada November 2012 oleh 16 Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan enam Negara Mitranya.