Suara.com - Pemerintah bersama Komisi V DPR RI telah menyelesaikan pembahasan substansi dan rumusan sebanyak 905 DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi pada Rapat Panitia Kerja, Rabu (31/8/2016) di Jakarta. Selanjutnya kedua belah pihak akan membahas RUU tersebut oleh tim perumus (timus). Pada rapat panja kali ini Pemerintah yang diwakili Kementerian PUPR, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Hukum dan HAM menyoroti tentang pemberian izin kerja kepada tenaga kerja konstruksi asing.
“Pemberi kerja tenaga kerja konstruksi asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja dan izin mempekerjakan tenaga kerja tersebut. Selain itu Tenaga kerja asing disyaratkan wajib bekerja pada jabatan tertentu atau ahli saja”, ujar Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Yusid Toyib melalui keterangan tertulis, Kamis (1/9/2016). Yusid menambahkan bahwa tenaga kerja konstruksi asing yang bekerja di Indonesia seharusnya hanya pada jabatan ahli dan mempunyai kewajiban harus melakukan transfer knowledge dan teknologi.
Salah satu anggota panja RUU Jasa Konstruksi Komisi V DPR RI, Muhidin sempat mengkritisi, bahwa izin seharusnya tidak hanya kepada badan yang mempekerjakan tenaga kerja asing tapi tenaga kerja itu sendiri harus diberikan persyaratan untuk bekerja di Indonesia. “Padahal aturan ketat sudah dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Hukum dan HAM, tapi fakta di lapangan banyak pekerja asing ilegal masih bisa bekerja, bahkan di daerah sampai tukang gali pun ilegal, barangkali ini menjadi catatan”, ujar Muhidin.
Sementara staf Ahli Kementerian Hukum & HAM, Josef. A. Naesoi menyatakan serius menanggapi masalah tersebut. “Namun secara aturan sudah kami susun, dimana filter itu ada di UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian,” ujar Josef.
Menurutnya setiap pekerja asing bekerja baik sektor konstruksi maupun non konstruksi di Indonesia harus memiliki RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing). “Kemenkumham tidak akan mengeluarkan visa bekerja di Indonesia ketika belum ada dokumen kelengkapan dari Kemenaker,” katanya.
Selain itu, DPR serta Pemerintah bersepakat tentang peranan penilai ahli bahwa pengguna jasa atau penyedia jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Bangunan ditetapkan oleh penilai ahli.