Indonesia dan Selandia Baru berkomitmen untuk terus meningkatkan kerjasama dan investasi di sektor industri. Kesepakatan itu muncul dalam pertemuan antara Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto dengan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Trevor Matheson.
“Kami membahas perkembangan hubungan bilateral dan meningkatkan perdagangan kedua negara, termasuk mengenai kerjasama dan investasi di sektor industri,” kata Airlangga seusai pertemuan dengan Trevor di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Menperin mengharapkan, total perdagangan kedua negara dapat naik dua kali lipat dalam lima tahun ke depan seiring dengan peningkatan kerjasama industri. Sementara, tren perdagangan Indonesia-Selandia Baru selama periode 2011-2015 sebesar 0,97 persen dengan total perdagangan pada 2015 mencapai 1,07 miliar Dolar Amerika Serikat (AS).
“Untuk itu, kami meminta kepada Pemerintah Selandia Baru agar bisa menurunkan bea masuk produk dari Indonesia,” tegas Menperin. Pasalnya, dua produk ekspor Indonesia, yakni herbisida dan insektisida dikenakan tarif sebesar lima persen sesuai skema kesepakatan ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA).
“Kami minta di nol persen kan untuk dua produk tersebut, agar produk Indonesia lebih berdaya saing,” ujarnya. Sedangkan, lanjut Airlangga, permintaan Selandia Baru adalah jaminan pasokan bahan baku susu asal Indonesia untuk pengembangan kapasitas produksi industri pengolahannya.
Berdasarkan data statistik pada tahun 2015, nilai ekspor Indonesia ke Selandia Baru sebesar 436,25 juta Dolar AS. Sedangkan, impor Indonesia dari Selandia Baru mencapai 637 juta Dolar AS.
Sejauh ini, investasi Selandia Baru terus melesat. Jika pada 2013 penanaman modal dari negara Kiwi itu hanya USD 446 ribu dengan 11 proyek, maka pada 2014 melonjak menjadi USD 17,5 juta dengan 6 proyek. Sementara hingga pertengahan tahun 2015, investasi Selandia Baru tercatat 14 juta Dolar AS yang tersebar di 6 proyek. Sektor-sektor yang mendominasi, diantaranya industri makanan dan minuman, kimia, serta infrastruktur.
“Mereka juga punya industri geothermal dan jasa. Ke depannya, kami harapkan investasi yang masuk dari mereka adalah industri pengolahan produk pertanian dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pengolahan susu,” papar Airlangga.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Industri Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan, terdapat dua negara ASEAN yang mengekspor herbisida dan insektisida ke Selandia Baru, yakni Indonesia dan Malaysia. Kedua produk itu digunakan untuk menggarap pertanian di Selandia Baru.
“Produk herbisida dan insektisida dari indonesia masih dikenai bea masuk, sementara produk sejenis dari Malaysia bebas bea masuk. Untuk itu, kami berupaya menjalin kesepakatan lagi dengan Selandia Baru agar produk herbisida dan insektisida kita bisa nol persen juga sehingga sama daya saingnya dengan Malaysia melalui liberalisasi pasar,” paparnya.
Kerjasama dengan Vietnam
Pada hari yang sama, Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan Vietnam Nguyen Cam Tu yang membawa delegasi VEAM Corp di Kementerian Perindustrian. VEAM Corp merupakan BUMN di bawah Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam yang bergerak di bidang manufaktur, permesian dan alat pertanian, truk dan bis, serta komponen.
Dalam kesempatan tersebut, Menperin Airlangga Indonesia membuka peluang kerja sama industri dengan Vietnam, khususnya pada pengembangan teknologi. “Hal ini didukung oleh fasilitas riset di sektor agro dan permesinan yang dimiliki balai-balai di bawah Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Untuk itu, kerja sama ke depannya untuk kedua negara akan difokuskan pada industri permesinan yang berbasis di sektor pertanian. Alasannya, beberapa perusahaan di Indonesia sudah menguasai teknologi baik pra panen dan pasca panen.
“Indonesia juga menguasai teknologi pengolahan agrikultur untuk produk-produk seperti kakao, CPO, karet dan hortikultura. Di Indonesia ada Asosiasi Alat Mesin Pertanian Indonesia (ALSINTANI) yang memiliki sebanyak 30 anggota,” tuturnya.
Menperin menjelaskan, industri alat mesin pertanian (alsintan) di Indonesia telah memiliki kemampuan memproduksi traktor tangan, traktor kecil hingga sedang, pompa irigasi, mesin bajak yang digunkanan untuk tahap pra panen. “Sedangkan untuk pascapanen seperti mesin pengerin. Namun baru 35 persen produk alsintan di Indonesia yang di produksi oleh perusahaan dalam negeri,” ungkapnya.
Kemenperin mencatat, industri alsintan Indonesia tumbuh 261 persen pada tahun 2015 dengan nilai 26,6 juta Dolar AS. Tujuan ekspor utamanya ke Nigeria, Malaysia, Amerika Serikat, Filipina, Venezuela and Timor Leste. Di sisi lain, Indonesia mengimpor untuk produk-produk alsintan sebesar 45,3 juta pada tahun 2015.
Menperin mengharapkan peningkatan neraca perdagangan kedua negara, dari 6 miliar Dolar AS pada tahun 2015 menjadi 10 miliar Dolar AS pada tahun 2018. “Indonesia dan Vietnam punya kemiripan industri dan kemiripan pangsa ekspor, jadi sebaiknya saling melengkapi. Ekspor Indonesia ke Vietnam diantaranya produk kimia, permesinan, spare part, komponen elektrik, dan komponen mesin. Sedangkan impor dari Vietnam, antara lain tekstil, beras, alas kaki dan karet untuk kebutuhan industri,” paparnya.