Kehadiran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Kabinet Kerja merupakan angin segar untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam menghadapi badai ketidakpastian finansial di negara maju maupun negara berkembang.
Sri Mulyani yang menjabat sebagai pimpinan tertinggi di Kementerian Keuangan sejak 27 Juli 2016 tersebut langsung melakukan sejumlah penyesuaian dalam postur belanja yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi terkini.
Penyesuaian yang dilakukan berupa pemangkasan belanja Kementerian Lembaga sebesar Rp65 triliun dan belanja transfer ke daerah Rp68,8 triliun, karena hingga akhir tahun diperkirakan terdapat potensi kekurangan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp219 triliun.
Selain itu, postur APBNP 2016 yang lebih realistis ikut menjadi basis penyusunan dari RAPBN 2017 agar pagu anggaran tersebut bisa menjawab tantangan perekonomian yang berpotensi mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Namun, tingginya angka proyeksi defisit anggaran dalam RAPBN 2017 yaitu mencapai Rp332,8 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB, harus menjadi perhatian pemerintah karena berarti porsi penerimaan belum dominan untuk mendukung pembangunan.
Perkiraan target ini lebih tinggi Rp36,1 triliun dari proyeksi defisit anggaran dalam APBNP 2016 sebesar Rp296,7 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB, dengan kemungkinan adanya tambahan pembiayaan melalui penerbitan utang.
Sri Mulyani menjelaskan besarnya defisit anggaran dalam RAPBN 2017 karena pemerintah ingin menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang telah terjalin sejak pertengahan tahun lalu.
"Defisit besar karena pendapatan sangat ketat. Akan tetapi, kami tidak ingin mengurangi belanja karena harus menjaga momentum dan akselerasi pertumbuhan," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers mengenai nota keuangan dan RUU APBN 2017.
Defisit anggaran sebesar Rp332,8 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB berasal dari proyeksi pendapatan negara sebesar Rp1.737,6 triliun dan perkiraan belanja negara sebesar Rp2.070,5 triliun.
Untuk menutup defisit anggaran tersebut, kata Sri Mulyani, pemerintah masih akan bergantung pada sumber pembiayaan utang di antaranya dari penerbitan SUN sebesar Rp389 triliun dengan tetap mengendalikan rasio utang terhadap PDB dalam batas aman.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga memastikan pendanaan dari utang itu akan dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan menjaga keseimbangan makro ekonomi serta mengoptimalkan pembiayaan untuk kegiatan kreatif dan inovatif agar mampu mendorong pembangunan.
"Pembiayaan anggaran tahun 2017 diarahkan untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM, mendukung upaya peningkatan ekspor, membuka akses pembiayaan pembangunan dan investasi kepada masyarakat secara luas dan mendukung peningkatan akses terhadap pendidikan dan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah," kata Sri Mulyani.
Menjaga Defisit Anggaran Pemerintah meyakini defisit anggaran itu memiliki manfaat untuk mendorong realisasi pembangunan asalkan pembiayaan dari utang tersebut tidak digunakan untuk sektor non produktif yang mempunyai dampak negatif bagi keberlangsungan APBN.
Namun, realisasi defisit anggaran yang terlalu mepet dengan target yang diperkenankan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yaitu tiga persen terhadap PDB juga memerlukan fokus tersendiri, meskipun pemerintah sudah melakukan antisipasi dengan pemangkasan anggaran.
Kementerian Keuangan mencatat, hingga 5 Agustus 2016, pencapaian defisit anggaran telah mencapai Rp262,5 triliun atau 2,08 persen terhadap PDB karena rendahnya penerimaan negara dan tingginya realisasi belanja pemerintah.
Pencapaian defisit anggaran tersebut sudah mencapai 88,5 persen dari target yang ditetapkan dalam APBNP 2016 sebesar Rp296,7 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkhawatirkan mepetnya defisit anggaran seperti saat ini bisa kembali terjadi di kemudian hari sehingga menilai penyusunan asumsi maupun target RAPBN 2017 masih terlalu optimistis.
"Tidak realistis, terlalu optimistis, di sisi penerimaan dan target pertumbuhan," katanya menanggapi target penerimaan perpajakan di 2017 sebesar Rp1.495,9 triliun, meskipun proyeksi itu menurun dibandingkan target pada 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun.
Fadli mengatakan pencapaian target yang ditetapkan dalam RAPBN 2017 masih mungkin terganggu oleh tekanan domestik maupun global, sehingga hal itu bisa menghambat kinerja sektor perpajakan dan penerimaan negara secara keseluruhan.
"Menurut saya pemerintah masih melakukan akrobat angka-angka. Tetapi saya berharap bisa direalisasikan," kata Politisi Partai Gerindra ini.
Salah satu faktor penting yang harus dilakukan dalam mengelola defisit anggaran adalah dengan menjaga penerimaan pajak dan melakukan antisipasi apabila pendapatan dari sektor tersebut tidak tercapai secara maksimal.
Melakukan penambahan utang bisa menjadi opsi lainnya, namun hal itu bukan merupakan pilihan yang populis mengingat neraca keseimbangan primer terus meningkat setiap tahunnya karena pemerintah masih membayar bunga utang dengan penerbitan obligasi.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengusulkan pilihan terbaik untuk mengantisipasi pelebaran defisit anggaran adalah dengan mendorong penerimaan negara melalui upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi agar potensi pajak bisa tergali dengan maksimal.
Ia mengatakan perlu dilakukan upaya ekstensifikasi untuk mencari wajib pajak orang pribadi maupun badan baru serta tindakan intensifikasi dengan melakukan penguatan kelembagaan institusi pajak, revisi Undang-Undang Perbankan serta meningkatkan koordinasi dengan para penegak hukum.
"Pemerintah tentu tak cukup hanya mengandalkan 'tax amnesty' untuk menyelamatkan anggaran dari ancaman 'shortfall' pajak yang menghantui," katanya beberapa waktu lalu.
Selain itu, Yustinus menyarankan agar pemerintah juga melakukan efisiensi dalam pelaksanaan penganggaran belanja bagi Kementerian Lembaga supaya pagu yang ada benar-benar bermanfaat bagi program pengentasan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan.
"Untuk penganggaran yang lebih efisien dan tepat sasaran, anggaran sebaiknya dialokasikan sesuai program prioritas yang akan dijalankan atau 'money follow function'," ujarnya.
Dengan melakukan disiplin terhadap pelaksanaan APBN, maka defisit anggaran diharapkan bisa terus terjaga sesuai proyeksi dan tambahan pembiayaan benar-benar bermanfaat untuk pelaksanaan berbagai program pemerintah.
Namun, akan lebih ideal apabila upaya tersebut sejalan dengan perbaikan kinerja dalam sektor penerimaan perpajakan, agar hasil dari pembangunan bisa dinikmati oleh semua pihak, tidak hanya golongan tertentu saja. (Antara)