Menengok Kamanggih, Desa Mandiri Energi di Sumba Timur

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 17 Agustus 2016 | 14:43 WIB
Menengok Kamanggih, Desa Mandiri Energi di Sumba Timur
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Desa Kamanggih, Sumba Timur, NTT. [Dok Feri Latief]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Di bandingkan kabupaten lain di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur  termasuk salah satu dari empat kabupaten yang tertinggal. Tapi  siapa sangka pulau itu ternyata memiliki banyak sumber daya untuk energi baru dan terbarukan. 

Lihatlah  desa Kamanggih di Kabupaten Sumba Timur. Walau letaknya terpencil, jauh dari ibu kota kabupaten, Waingapu, tetapi sekitar 2000 orang penduduknya telah 100%  menikmati listrik yang diperoleh dari energi baru dan terbarukan!

Bagaimana bisa? Semua bermula dari upaya Umbu Hinggu Panjanji, seorang tokoh pemuda setempat yang mendirikan koperasi di desanya.  Ia menyadari betapa tertinggal desanya. “Kemajuan pertama pada tahun 1999 ada penduduk desa membeli sebuah sepeda motor. Semua penduduk desa keluar mau melihat motor itu!” Kenang Umbu, panggilan akrabnya. Sepeda motor adalah suatu kemewahan yang jarang tersentuh warga desa.

Sebagai pemuda ia gelisah melihat kemiskinan warga desanya. Apalagi kondisi ekonomi tahun 1999 tidak bagus. “Kemiri yang menjadi salah satu sumber penghasilan warga desa harganya jatuh menjadi  hanya Rp.1000 per kilo!”

Warga desa yang kesusahan lalu berupaya menjual ternaknya kepada pedagang yang datang dari kota. Sayangnya terpaksa harus dijual murah karena yang menentukan harganya para pedagang kota itu. Hidup mereka bergantung pada orang-orang kota yang memiliki modal.

Kondisi kesehatan buruk, tak ada layanan kesehatan. Air bersih pun sulit didapat. Harus mencari ke lembah-lembah yang jauh dari desa. Penerangan listrik belum ada, semua masih menggunakan lampu minyak tanah yang sulit didapat. Mereka termasuk diantara 60 juta penduduk Indonesia yang tak punya listrik. Sehari-hari masyarakat menggunakan kayu bakar. 

Pendidikan anak pun menjadi kendala. Siapa guru yang mau tinggal di desa terpencil yang serba kekurangan? Waktu anak banyak untuk membantu di kebun, mencari air dan ikan di lembah serta kayu bakar.

Walau desa itu miskin dan kering tapi sesungguhnya banyak potensi sumber daya alam di sekitarnya. Banyak sumber air jauh di lembah-lembah di kawasan hutan sekitar desa. Potensi itulah yang dilihat para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam kemanusian dan lingkungan untuk membantu kehidupan warga desa Kemanggih.

Kegelisahan Umbu bertemu dengan niat para aktivis itu. Ia memberdayakan warga desa untuk melepas diri dari kendala-kendala yang selama ini membelenggu mereka. Para aktivis membantu membangun prasarana penyediaan air bersih. Umbu Panjanji bersama warga desa mendirikan koperasi untuk mengelola prasarana itu.

Sayangnya karena koperasi tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengelola prasarana itu akhirnya ketika ada masalah teknis mereka tak mampu mengatasi akhirnya prasarana itu terongok tak bisa difungsikan lagi.

Sampai datang aktivis yang lain untuk membantu membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di salah satu sumber mata air di hutan dekat desa pada tahun 2011. Masyarakat bergotong royong membangun pembangkit listrik itu sampai selesai

Tugas koperasi mengelola listrik yang dihasilkan PLTMH. Mereka menyalurkan energi listrik ke masyarakat desa. Menjual listrik dan mengelola dana yang didapat dari warga desa.

Belajar dari pengalaman sebelumnya mereka tak punya keahlian teknis juga ada kendala maka mereka pun menjalan kerja sama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Koperasi tak lagi langsung menjual listrik ke masyarakat tapi ke PLN yang menjualnya lagi ke masyarakat.

“Kami jual Rp. 475/kwh ke PLN, setiap bulan koperasi mendapat tiga sampai empat  juta rupiah bersih dari PLN. Penduduk membayar ke PLN Rp. 20,000 perbulan,” terang Umbu Panjanji. Ia menjual di bawah harga yang ditentukan pemerintah alias murah.  

Keuntungan lainnya operasional dan pemeliharaan PLTMH dilakukan oleh PLN bukan koperasi lagi. PLN membayar gaji para teknisi yang memelihara setiap hari sebagai karyawannya. Teknisinya dari anggota koperasi yang dididik khusus.

Skema ini menguntungkan, begitu penjelasan Sandra Winarsa, dari HIVOS, LSM yang selalu mendampingi warga desa. “Kami tak perlu memikirkan lagi operasional dan perawatan PLTMH yang dulu gagal dilakukan koperasi,” jelas Sandra. Hambatan satu-persatu dikenali dan berusaha diselesaikan.  

Uang yang diperoleh koperasi didayagunakan untuk membangun prasarana air bersih. Air bersih disalurkan ke warga desa dan ditarik iuran. Pendapatan koperasi bertambah.

Lalu koperasi mulai mengajak masyarakat untuk membangun biogas untuk keperluan memasak.  Sekarang sudah 120 kepala keluarga menggunakan bahan bakar biogas di desa Kamanggih.  Perlahan mereka mulai mengurangi penggunaan kayu bakar untuk memasak yang selama ini menjadi penyebab tingginya tingkat penyakit infeksi saluran pernafasan di sana.

Pada tahun  2013 sebuah BUMN minyak dan gas memberi bantuan lagi kepada masyarakat berupa pembangkit listrik tenaga angin. Sekarang dasa-desa tetangga pun mulai bisa dipenuhi kebutuhan listriknya.

Listrik yang dihasilkan setiap kincir angin sebesar 500 watt. Ada seratus unit yang dipasang di sana, yang menghasilkan 50 KiloWatt. Di tambah daya yang dihasilkan PLTMH sebesar 37 KiloWatt. Secara keseluruhan desa Kamanggih menghasilkan listrik 87 KW. Jumlah ini cukup untuk kebutuhan listrik desa Kamanggih, bahklan berlebih.

Dampak keberadaan listrik di desa Kamanggih ternyata luas. Warga tak perlu lagi mengambil air di lembah-lembah yang jauh atau mencari kayu bakar. Waktu luang banyak di gunakan untuk bertani dan berkebun. Hasilnya mereka mulai mandiri pangan dan tentu saja energi.

Ekonomi masyarakat pun mulai membaik. Walau tidak ada data resminya tapi secara kasat mata terlihat. Hasil tani dan kebun meningkat.  Ibu-ibu yang menenun lebih produktif karena bisa menenun di malam hari diterangi lampu listrik. Kemudahan air bersih juga meningkatkan kesehatan. Tahun 2014 yang lalu telah berdiri untuk pertama kali sekolah menengah atas di sana!

Dampak negatif tentu saja ada. “Anak-anak senang nonton tv sampai jauh malam,” jelas Umbu. Pemakaian lsitrik pun mulai meningkat. “Kami harus mulai memikirkan meningkatkan daya listrik. Dua atau tiga tahun ke depan kita harus mencari potensi baru untuk sumber daya,” terang Umbu.

Revolusi Mental

Ada lagi tantangan lain di depan. “Soal mentalitas!” tegas Umbu. Ia menjelaskan dengan kehadiran listrik secara swadaya dan swakelola ikut membentuk mental warga desanya. Sebelum Presiden Jokowi mencanangkan “Revolusi Mental” warga desanya sudah bisa merevolusi mentalnya sendiri.

“Masyarakat sudah mandiri secara ekonomi, pangan dan energi. Program pemerintah yang memberi bantuan tunai langsung kemasyarakat menjadi tantangan kita selanjutnya,” tegas Umbu.

Seperti diketahui selain ada dana desa dari APBN juga ada ada program Anggur Merah (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera) yang dijalankan pemerintah daerah NTT.  Belum lagi ada program Bantuan Langsung Tunai, Beras Murah dan yang gratis-gratis lainnya yang semuanya bisa mempengaruhi mental masyarakat yang sudah mandiri secara energi, pangan dan ekonomi.

Tanpa disadari program pemerintah yang bertujuan baik ternyata bisa berakibat buruk pada masyarakaat. “Itu tantangan kita ke depan bagaimana agar masyarakat tidak terlena dengan segala macam bantuan dan menjadi malas,” tandas Umbu menutup perbincangan.

Di desa Kamanggih kita melihat kegigihan warga desa untuk melawan ketinggalan dengan energi baru dan terbarukan. Ternyata berdampak luas dan positif bagi kehidupan warga desanya.  Too good to be true!

Ini menjadi contoh yang baik bagi kawasan lain di Indonesia yang sedang membangun energi listrik tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga kelestarian. (Feri Latief)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI