Ketua Forum Ekonomi Konstitusi Defiyan Cori menilai efektifitas pengendalian pangan nasional semakin tidak jelas dan terarah. Kondisi ini makin diperparah oleh kasus-kasus penindakan yang tidak proporsional.
"Sebagaimana telah pernah dan banyak diberitakan oleh media, berbagai barang sitaan, seperti bawang merah impor ilegal, dan barang-barang pangan dan non pangan lain yg halal dan manfaat, biasanya hasil sitaan dibakar oleh aparat sebagai bentuk tindakan tegas atas pelanggaran hukum. Namun sebenarnya untuk produk-produk pangan ini bukanlah tindakan yg benar, justru hal ini adalah sesuatu yang mubazir jika hasil tanaman pangan yang masih punya manfaat dibakar. Ada baiknya produk pangan itu tidak dibakar lagi, apalagi mengingat harga, sembako khususnya, bawang merah yang sangat mahal di pasaran," kata Defiyan dalam keterangan resmi, Minggu (14/8/2016).
Defiyan menyatakan Bulog seharusnya dapat mengantisipasi tindakan hukum sebagai otoritas yang diberi kewenangan logistik dalam mengelola pasar pangan dan ketersediaan pangan masyarakat agar harganya terjangkau. Dengan mengembalikan tugas dan fungsi Bulog seperti dulu di era Orde Baru, maka Bulog tidak ditempatkan sebagai entitas bisnis,tetapi instrumen stabilisator dan dinamisator bahan pangan. Sedangkan entitas bisnis yang harus didorong melalui kebijakan affirmasi dengan prioritas alokasi dana anggaran negara bagi pengembangan Koperasi sektoral, terutama di daerah-daerah agar ekonomi masyarakat bangkit dan maju.
"Penerintah mestinya dapat memperkirakan perasaan keadilan masyarakat bagaimana mungkin konglomerat bermasalah memperoleh BLBI ratusan Trilyun lebih dengan perilaku buruk selama krisis ekonomi, sedang pengusaha UKM dan Koperasi tidak memiliki akses yang mudah dalam memperoleh permodalan dan cenderung dipersulit, padahal mereka tidak pernah melarikan dana dari tanah air. Kebijakan memudahkan para pengusaha UKM dan Koperasi ini menjadi lebih mendesak (urgent) diperhatikan oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan kontribusi Produk Domestik Bruto, dan secara bertahap akan mampu menyehatkan ekonomi makro dalam menopang APBN," jelas Defiyan.
Terkait dengan kelangkaan pangan dan permainan distributor, maka ada data yang tidak sinkron antar kementerian dan lembaga pemerintah harus segera dibenahi. Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalaha data, pengelolaan dan pengendalian bahan pangan yang menguasai hajat hidup orang banyak diperlukan kebijakan pangan yang sinergis. Sebab, setelah reformasi yang telah berlangsung 18 tahun ini kelangkaan pangan dan kenaikan harga-harga pangan semakin tidak terkendali. Selain itu, Presiden perlu juga mempertimbangkan membentuk sebuah lembaga sesuai perintah UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang memiliki otoritas dalam bidang ini agar mampu bekerja efektif dan efisisen serta terkonsolidasi seperti dulu dilakukan oleh Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Mengacu UU Nomor 18 Tahun.2012 tersebut, pembentukan kelembagaan pangan sebetulnya sudah melewati batas tenggat waktu (selambat-lambatnya bulan Nopember 2015) yang diperintahkan. Selain itu, kelembagaan pangan diperlukan karena permasalahan yang selalu terjadi atas ekspor dan impor bahan pangan dapat segera diatasi melalui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yang dapat menjadi pendamping penuh Presiden dalam mengambil kebijakan strategis dan berkelanjutan untuk pengendalian pangan nasional melalui data dan pemetaan informasi yang lebih tertata, valid dan terkini (up date).
"Langkah taktis dan strategis inilah yang harus segera diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan krisis pangan pada jangka pendek dan secara bertahap dalam jangka panjang menjadi pemasok pangan asia dan bahkan dunia," tutup Defiyan.