Selama Ini Pemerintah Dinilai Terlalu Memanjakan Freeport

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 09 Agustus 2016 | 18:49 WIB
Selama Ini Pemerintah Dinilai Terlalu Memanjakan Freeport
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2). (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) mengingatkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Archandra Tahar tidak sembarangan mengeluarkan izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia. Hipmi menilai “kemanjaan” Freeport dapat merusak komitmen investasi dan hilirisasi industri nasional yang tengah di bangun oleh pemerintah.

“Kita bersusah payah sampai bankrut untuk mentaati aturan dan program hilirisasi, sementara Freeport terus-terusan memohon dispensasi ekspor konsentrat. Apa-apa’an ini. Kita kecewa berat kalau Menteri ESDM sampai kasih lagi dispensasi. Ini juga akan merusak iklim investasi,” ujar Ketua BPP Hipmi Bahlil Lahadalia, yang juga pengusaha tambang asal Papua ini di Jakarta, Selasa (9/8/2016).

Sebagaimana diketahui, per hari ini Selasa (09/08), Freeport dilarang melakukan aktifitas ekspor. Sebab itu, Freeport kembali mengajukan izin ekspor konsentrat. Pada bagian lain, Kementerian ESDM mengaku masih menahan perpanjangan rekomendasi surat persetujuan ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia. Alasannya,  proses evaluasi terhadap persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh izin tersebut belum tuntas.

Izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) yang diberikan berlaku per enam bulan, dan berakhir kemarin, Senin (8/8/2016). Kementerian ESDM menyatakan belum tentu akan memberikan kuota yang diminta PTFI. Pasalnya, hal tersebut akan tergantung hasil evaluasi, termasuk realisasi ekspor sebelumnya. Kementerian juga masih menunggu hasil evaluasi perkembangan pembangunan Smelter di Jawa Timur.

Bahlil mengatakan, dispensasi yang berkepanjangan kepada Freeport dapat merusak iklim investasi yang tengah digulirkan sendiri oleh pemerintah. “Apa pemerintah mau menggagalkan sendiri programnya? Ini amanat Undang-Undang Minerba tahun 2009,” ujar Bahlil.

Bahlil mengingatkan agar Menteri ESDM tidak tersandra oleh kepentingan PT Freeport dalam mengambil kebijakan. Pasalnya, menurut dia, selain kerap mendapat dispensasi, Freeport juga telah mendapat pelakuan khusus dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Permen ESDM 5/2016 merupakan revisi dari Permen ESDM 11/2014. ”(Revisi) Aturan ini kan untuk mengakomodasi kepentingan Freeport,” pungkas Bahlil. 

Bahlil mengatakan, dalam revisi Permen 11 itu, tampak jelas untuk mengakomodasi kepentingan PT Freeport. Pasalnya, investor diberi kemudahan apabila progres smelter bila tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Padahal,  dalam Permen 11 yang belum direvisi, beleid ini menerapkan syarat yang sangat ketat untuk perpanjangan izin ekspor, yakni izin diberikan apabila progres smelter mencapai 60% dari rencana kerja per enam bulan.  

Sedangkan dalam Permen 5 itu malah diatur lebih lunak. Disana dikatakan, bagi smelter yang tidak mencapai 60 persen dari target yang dihitung secara kumulatif, maka perpanjangan rekomendasi diberikan dengan tingkat kemajuan pembangunan smelter dinilai sama dengan capaian pada periode sebelumnya. “Gara-gara beleid itu, kemudian banyak pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) jadi molor,” pungkas Bahlil. 

Bahlil menilai, pemerintah terlalu memanjakan PT Freeport McMoran.   Tak hanya Freeport, perusahaan tambang saat ini rata-rata mengalami kesulitan keuangan bahkan menuju kebangkrutan sebab ada pelarangan ekspor konsentrat. Namun, para pengusaha lokal saat ini masih berupaya menaati regulasi yakni Undang-Undang (UU) Minerba No.4 Tahun 2009.   Saat ini, lanjut Bahlil, para pengusaha lokal sedang membangun smelter di beberapa tempat di Tanah Air sebagai bentuk kepatuhan kepada regulasi atau UU, meski di tengah lemahnya dukungan permodalan dan pasokan energi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI