Kalau bermimpi, mimpilah yang besar karena sama-sama tidak bayar." Ungkapan inilah yang selalu didengung-dengungkan oleh Andi Wijaya, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Prodia Widyahusada selama 40 tahun (1973 s.d. 2003).
Hal itu juga menjadi pembuka buku "Impian Besar Si Pengangon Bebek, Karya dan Visi Andi Wijaya untuk Indonesia Sehat".
Melalui mimpi-mimpinya, pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 80 tahun lalu itu ingin menunjukkan dan membuktikan kepada generasi muda tanah air bahwa putra-putra Indonesia mampu berprestasi di tingkat nasional, bahkan global.
Pada era 1970-an, bisnis laboratorium kesehatan masih dilihat sebelah mata oleh sebagian besar orang. Meski demikian, Andi Wijaya dan ketiga temannya tetap bersemangat membangun laboratorium bertaraf internasional. Dengan keyakinan "the power or think big" mereka berusaha mewujudkan cita-cita membangun laboratorium kesehatan di Tanah Air.
Bersama tiga temannya, dia membangun laboratorium kecil, sangat sederhana di Jalan Pasar Nongko 83 Solo bernama Prodia pada tahun 1973. Dengan modal patungan Rp45 ribu per orang menjadi Rp180 ribu, mereka menyewa tempat usaha untuk 5 tahun.
Andi bersama Gunawan, Handoko, dan Singgih, bahu-membahu membangun klinik laboratorium Prodia. Kurangnya dana membuat mereka memutar otak untuk memperoleh peralatan tanpa harus mengeluarkan uang. Kebetulan Andi dan Gunawan yang sama-sama dosen di Universitas Atamajaya rela untuk mengganti uang gaji mereka dengan peralatan bekas laboratorium milik universitas.
Sementara itu, kebutuhan furnitur, seperti meja dan kursi, dibuat sendiri oleh Singgih. Bagi pria kelahiran 2 Juli 1936 ini, mereka berempat termotiviasi untuk dapat memberikan layanan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat luas. Motivasi ini diperoleh karena melihat kurangnya perhatian terhadap layanan kesehatan.
Setelah bekerja keras menekuni selama 43 tahun, mimpi Andi itu terwujud. Kini, Prodia menjadi perusahaan raksasa dengan 118 cabang di berbagai daerah, 266 pusat pelayanan terdiri atas 118 cabang, 131 point of care collection centers, dan 17 laboratorium rumah sakit di 104 kota besar di Indonesia.
Dari rumah sederhana di Jalan Pasar Nongko 83 Solo, dalam 4 dekade, laboratorium itu menjadi perusahaan yang berpenghasilan lebih dari Rp1 triliun per tahun dan menghidupi ribuan karyawan dengan 2.000.000 pelanggan di 30 provinsi. Laboratorium yang dirintisnya tersebut kini merupakan 10 besar laboratorium terbaik di dunia, baik dari segi kualitas maupun layanan.
Nilai Tertinggi Tidak hanya sukses di bidang bisnis Laboratorium medis, Andi termasuk sosok yang luar biasa di dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sewaktu sekolah di AMS B pada tahun 1955, Andi meraih nilai tertinggi kedua se-Provinsi Jawa Tengah.
Karena kecerdasannya itu, dia ditawari tiga perguruan tinggi ternama saat itu. Dia ditawari masuk Jurusan Farmasi di Universitas Indonesia sekarang ITB, Teknik Kimia di perguruan tinggi yang sama, dan Fakultas Kedokteran UI.
Namun, dia justru memilih Jurusan Farmasi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kenapa pilih farmasi? "Karena saat itu tidak banyak mahasiswa yang memilih mengambil kuliah di jurusan farmasi sehingga saya merasa terbuka peluang besar untuk mengabdi di sana," ujarnya.
Sukses di dunia pendidikan, pada tahun 1978, Andi mendapat kepercayaan mengambil gelar Ph.D. dalam bidang biologi molekuler dari Muenster Universitaet, Jerman. Kampus ini termasuk Universitaet tua di Eropa, sudah ada sejak abad 17.
Pada tahun 1986, dia meraih M.B.A. dari University of California, Los Angeles (UCLA), Amerika.
Pada tahun 1967 s.d. 1971, dia menjadi dosen Kimia Klinik Jurusan Farmasi Unika Atma Jaya di Solo, Jawa Tengah.
Pada tahun 1980 s.d. 2001, dia mulai mengajar mata kuliah Kimia Klinik di ITB dan 1983 s.d. 2003 di Unpad Bandung.
Pada tahun 1991, Andi dianugerahi Doctor Honoris Causa dalam ilmu biomedis dari University of Birmingham, Inggris. Kini, kesibukan Andi adalah menularkan ilmunya kepada generasi muda. Dia banyak diundang menjadi pembicara di pertemuan ilmiah para peneliti hingga mancanegara.
Filsafat Bebek Meski lahir di Klaten, Andi Wijaya kemudian menetap di Semarang untuk sekolah. Sejak usia 11 tahun, Andi sudah membantu orang tuanya dengan mengangon bebek hingga 1,5 tahun lamanya.
Waktu kecil, setiap pukul 15.00 putra pertama dari delapan bersaudara itu mulai giring bebek ke sawah-sawah. Selama 1,5 tahun dia ngangon atau menggembala bebek. "Saya jadi memperhatikan tingkah laku bebek, dan ternyata mereka disiplin," ujarnya.
Tanpa diperintah bebek-bebek akan bangun pagi dan baris untuk menuju sawah dan ketika pulang dia sudah paham di mana kandangnya.
Demikian pula, bebek itu adalah binatang yang solidaritasnya tinggi. Jika satu kelompok temannya belum ada, mereka tidak akan pulang ke kandang. Yang menarik lagi, rombongan bebek itu selalu berganti pemimpin di depannya. Tidak bebek yang itu-itu saja yang memimpin rombongan baris.
Setiap Sabtu dan Minggu selama 1,5 tahun, Andi angon bebek di Kali Garang, Ungaran, Jawa Tengah. "Saya dapat pelajaran banyak dari falsafah bebek. Bebek itu rukun, produktif, saling melindungi, sabar, dan menjaga kepentingan bersama," ujar Andi.
Hidup itu berbagi, hidup itu tidak boleh serakah, itulah yang pelajaran yang didapat dari tingkah laku binatang meleter itu oleh cucu seorang "lothia" atau wali kota pada masa pemerintahan Belanda tersebut.
Selain bercerita mengenai sejarah Prodia dan Andi, buku setebal 126 halaman ini juga menceritakan mengenai visi Andi ke depannya. Dia ingin agar industri kesehatan bisa mengikuti tren yang ada di luar. Salah satunya adalah pengembangan "next generation medicine", obat yang diberikan pada pasien diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita hingga muncul ungkapan "one fit for all".
Pada kenyataannya, setiap tubuh manusia memiliki reaksi dan gejala yang berbeda terhadap setiap penyakit dan obat-obatan. Di kalangan dunia medis saat ini, "next generation medicine" menjadi solusi untuk memberikan perawatan dan pengobatan kepada pasien yang disesuaikan dengan kondisinya pribadi.
Pengobatan didasari oleh gen pada masing-masing orang sehingga setiap orang akan mendapatkan perawatan yang berbeda meskipun memiliki penyakit yang sama. Perawatan ini sudah dijalankan di Singapura dan Hong Kong. Prodia sendiri berencana untuk mengembangkan perawatan ini pada tahun 2017. Saat ini Andi mengaku sedang menyiapkan berbagai peralatan serta orang-orang yang kompeten untuk menyongsong "next generation medicine" ini.
Meskipun buku biografi ini relatif banyak menyajikan data-data angka maupun ungkapan-ungkapan orang-orang terdekat Andi. Namun, gaya penulisan Eka Budianta, sastrawan dan biografer ternama, yang ringan dan lancar menjadikannya tidak menjemukan, bahkan menarik untuk dibaca sehingga pembaca dapat menyelami pengalaman Andi Wijaya yang inspirasi.
Beberapa kutipan lain yang menarik dari buku yang diterbitkan pada tahun 2016 dan ditulis hanya dalam waktu 6 bulan tersebut, antara lain, "Bangsa Indonesia itu pintar. Kalau mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, banyak yang lulus cum laude. Kalau bertanding banyak yang menjadi juara. Akan tetapi, kalau di dalam negeri, mengapa selalu kalah oleh orang-orang asing?" "Jangan mau kalah! Kita harus menjadi pelopor di negeri sendiri. Kita mulai yang orang lain belum kerjakan. Kita lakukan yang terbaik. Kita bikin yang belum ada. Kita pelajari yang belum tahu." Sebelum buku keduanya ini, Andi juga pernah menerbitkan biografi pada usianya yang ke-70 berjudul "Andi Wijaya Ilmuwan & Pengusaha". Namun, hanya diedarkan di kalangan terbatas, sementara "Impian Besar Si Pengangon Bebek" dicetak oleh Gramedia sebanyak 1.000 eksemplar. (Antara)