Tidak semua masyarakat menerima kehadiran Undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Masih ada sebagian masyarakat, yang menilai bahwa disahkannya UU tersebut menghadirkan ketidakadilan terhadap wajib pajak.
Karenanya, pihak yang tidak terima tersebut mengajukan gugatan berupa uji materi atau judicial review UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi. Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso mengatakan bahwa salah satu pasal yang akan digugat ke Mahkamah Konstitusi adalah pasa I angka 1 tentang definisi pajak.
"Yang menyebutkan bahwa Pengampunan Pajak adalah penghapusan Pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini," kata Sugeng di Warung Daun, Jalan Cikini Nomor 26 Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/7/2016).
Adapun pasal lainnya, kata Sugeng yang juga disorot adalah Pasal 22, tentang imunitas terhadap pejabat yang berwenang melaksanakan UU tersebut.
"Pasal 22 berbunyi, Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.
Sugeng menduga, pasal tersebut dimasukkan dalam UU Tax Amnesty karena khawatir kebijakan ini akan dipermasalahkan oleh rezim selanjutnya. Padahal, pasal tersebut berpotensi menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang.
"Jadi orang yang punya uang dari hasil korupsi pada Orde Baru, korupsi setelah Orde Baru, narkoba dan hasil BLBI yang dulu ada di luar negeri di cuci bersih, cukup dideklarasi saja tidak perlu direpatrasi juga," katanya.
Menurut Sugeng pengampunan pajak bagi para koruptor juga terlalu murah dan terlalu mengistimewakan orang yang mempuyai uang. Sudah murah, lanjut Sugeng uang yang diberikan juga menjadi intensif penghapusan pidana lain, hasil kejahatan di cuci bersih dan tidak ada jaminan uang tersebut direpatriasi.
"Ini terlalu mengistimewakan orang yang mempuyai duit. Hanya kena uang tebusan 2,4,5,6,8 dan 10 persen terlalu murah uang tebusanya, padahal kalau kena pajak bisa kena 25 persen," kata Sugeng.