Namun demikian, Endah juga mengingatkan agar investasi di sektor bioskop dapat memperhatikan komposisi pemeringkatan kelas bioskop dan perbandingan kepadatan bioskop (ratio density) di sebuah kota utnuk mewajibkan pembukaan bioskop baru dikota kecil.
”Kami juga sedang mengkaji agar setiap bioskop harus memiliki alat pendukung berupa sistem pelaporan tiket bioskop terbaru (Integrated Box Office System). Ini mengadopsi sistem yang diterapkan di Korea Selatan,” sebutnya.
Ketua Asosasi Produser Film Indonesia (APROFI) Sheila Timothy menyampaikan bahwa yang dibutuhkan oleh industri perfilman adalah paket kebijakan ekonomi mulai hulu hingga hilir. ”Contohnya kita tidak pernah punya riset. Kita harus punya riset untuk mendukung pengembangan industri film,” katanya.
Sheila yang akrab dipanggil Lala ini menilai bahwa untuk peralatan mudah untuk dibeli, namun yang susah adalah untuk menciptakan sumber daya manusianya. ”Saya baru saja mengunjungi SMK di Kudus yang khusus mendidik animator, ini sangat positif. Mereka bahkan mendatangkan pengajar dari Disney untuk mengajar seminggu disana. Kami berharap ini dapat diduplikasi ke daerah-daerah lain di Indonesia,” imbuhnya.
Salah satu hal lain yang juga tidak kalah pentingnya menurut Lala adalah insentif serta peraturan yang mendukung pengembangan industri perfilman. ”Tahun 2016 cukup positif karena dari Ada Apa dengan Cinta sudah ditonton 3,9 juta penonton maupun My Stupid Boss yang sudah ditonton hampir 1 juta. Namun kami berharap keberlanjutan tapi tidak hanya satu tahun bagus namun tidak ada kejelasan tahun depan,”pungkasnya.