Peneliti Pusat kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng mengkritik target ekonomi pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (ABNP-2016) yang sudah diketok palu. Pemerintah dan DPR menetapkan Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBN-P tahun 2016 sebesar Rp1.786,2 Triliun dan Belanja Negara ditetapkan sebesar Rp2.082,9 Triliun. Sementara target defisit anggaran dalam APBN–P tahun 2016 ditetapkan sebesar Rp296,7 Triliun (atau 2,35 persen terhadap PDB-).
"Perencanaan anggaran diatas sangatlah ambisius, tidak jauh berbeda sebelumnya," kata Salamudin dalam keterangan tertulis, Senin (11/7/2016).
Ada tiga alasan yang menurutnya tidak masuk akal. Pertama, target penerimaan negara ditetapkan sebesar Rp1.539,2 trilun. Target ini sudah pasti tidak akan tercapai. Mengingat realisasi penerimaan pajak pemerintah sepanjang tahun 2015 hanya mencapai Rp1.055 triliun atau 81,5 persen dari target Rp1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.
"Jadi target kenaikan pajak pemerintahan Jokowi tahun 2016 itu mencapai 46 persen dibandingkan realisasi tahun 2015. Ini target yang kurang masuk akal atau kurang realistis," ujar Salamudin.
Kedua, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp245,1 triliun yang salah satunya bersumber dari penerimaan migas senilai Rp68,7triliun. Angka ini memang merupakan pnurunan yang sangat besar dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Sebagai contoh penerimaan migas tahun 2014 mencapai Rp216.9 triliun. Penerimaan negara bukan pajak secara keseluruhan mencapai Rp400 triliun.
"Jika kita mendasarkan penerimaan migas dan SDA sebagai indikator utama ekonomi Indonesia, penetapan target penerimaan negara Jokowi dalam APBNP 2016 Sebesar Rp1.786 triliun merupakan target yang kurang masuk akal. Ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia tahun 2016 terus memburuk dibandingkan 2015," jelas Salamudin.
Ketiga, target utang pemerintah dalam APBNP 2016 sebesar Rp296,7 triliun mengalami peningkatan dari APBN 2016 Rp273,2 triliun atau meningkat sebesar 8,6 persen, selain akan menambah beban negara di masa mendatang, juga tidak akan menutup defisit anggaran pemerintahan Jokowi yang sangat besar. Untuk mengejar target belanja negara Rp2.082 triliun, pemerintahan Jokowi membutuhkan utang yang sangat besar.
"Melihat kondisi ekonomi sekarang dimana penerimaan negara dari pajak tidak akan lebih dari RP1100 triliun dan PNBP tidak lebih dari Rp100 triliun. maka untuk mengejar target belanja negara super besar tersebut, Pemerintahan Jokowi membutuhkan utang sebesar RP800 triliun atau sebesar 6,9 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Semoga Pak Presiden Jokowi segera siuman, bangun dari mimpi panjang. Sudah dua tahun loh mimpinya," tutup Jokowi.