Potensi zakat yang ada di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp400 triliun, hanya saja masih ada masalah dalam "marketing" dan peruntukannya yang terkait dengan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat selama ini.
Hal itu terungkap dalam diskusi yang diadakan Keluarga Islam Britania (Kibar) Colchester, United Kingdom, pada penghujung Ramadhan usai acara buka puasa bersama dengan pembicara Hilman Latief, Ph.D yang diundang KBRI London mengisi acara selama Ramadhan di Inggris.
Murniati Mukhlisin, Ph.D, dosen Essex Business School, Selasa (5/7/2016) menyebutkan pelaporan terhadap penyaluran dana zakat yang telah dikumpulkan selama ini belum berjalan dengan maksimal.
Sementara itu muzakki atau pembayar zakat semakin cerdas dan akan mempertanyakan dikemanakan uang mereka. Untuk membangun gedung lembaga pengelola dan gaji pengurus atau untuk apa.
Hal senada juga diungkapkan Hilman Latief, dari Lembaga ZIZ Muhammadiyah (Lazizmu) mencontohkan bahwa tidak semua pengurus pada level pimpinan Muhamadiyah, misalnya tak memanfaatkan Lazismu sebagai wadah menyalurkan zakat.
Diperlukan edukasi bahwa muzakki dapat meminta kepada amil tempatnya menyalurkan dana untuk menyalurkan kepada orang-orang yang diinginkannya, ujarnya.
Berat membangun kesadaran ini, karena faktor kepercayaan dan keterbukaan. Ada lembaga besar yang tidak mau berbagi data, ada yang disembunyikan.
Guna mengurai persoalan tersebut pemerintah mengeluarkan undang-undang mengatur aspek legalisasi lembaga amil zakat. Semua lembaga amil harus mendapatkan legalitas dari pemerintah, termasuk takmir masjid. Ini akan mulai diberlakukan November mendatang.
Bila tidak tersertifikasi namun tetap melakukan pemungutan akan ada sanksi, ujarnya menambahkan upaya tersebut dilakukan untuk menertibkan data dan pertanggung jawabannya.
Dikatakan ada sistem yang dibuat sistematis. Dengan demikian kontribusi zakat ini akan mampu memberdayakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Ke depan, katanya, sumber daya manusia akan diperhatikan sebagai bagian dari human security. Pemerintah, kata dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, akan melakukan penguatan administrasi kelembagaan.
Dalam kesempatan yang sama Dr (Cand) Luqyan Tammani yang telah lama tunak berkhidmat dalam kegiatan micro finance syariah saat ini ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga negara masih terasa. Oleh karena itu lembaga-lembaga yang cenderung berkembang adalah yang diinisasi oleh masyarakat.
BAZ daerah misalnya kurang transparan sehingga berdampak pada tidak sampainya zakat tersebut pada masyarakat sangat miskin. "Pemerintah juga terkesan enggan menggunakan institusi Islam secara penuh," kata Luqyan yang pernah bekerja di Islamic Relief, Inggris dan World Bank ini.
Menurutnya Islamic Relief di UK dikelola dengan manajemen profesional. Kantornya darurat, tidak bermewah-mewah serta petugasnya selalu siap dan sigap. Luqyan menambahkan tren peningkatan pendapatan masyarakat dengan melebarnya kelas menengah harus diiringi institusi terpercaya oleh kelas menengah itu sendiri.
Termasuk misalnya bila mampu membantu masyarakat Muslim di luar negeri. Harus ada umat Islam menjangkau umat Muslim di luar Indonesia. Lembaga Pendamping Ahmad Jamaan, dosen FISIP Universitas Riau mengatakan ada lembaga yang dapat menjadi mitra penyaluran dana masyarakat tersebut.
Dia memberi contoh Forum Layanan Iptek bagi Masyarakat (FLipmas) Batobo, di Riau dan Kepulauan Riau yang lima tahun belakangan melakukan mendampingan penguatan ekonomi masyarakat. Hanya, kata dia, pengalamannya di lapangan lebih pada menyalurkan dana dari community development perusahaan.
Oleh karena itu sistem pertanggungjawabannya lebih kepada perusahaan yang mempercayakan penyalurannya. "Ada dua pertanggungjawaban kami lakukan. Pertama administrasi dan keuangan, kedua progress di tingkat masyarakat yang mendapatkan bantuan itu sendiri. Kegiatan monitoring dan evaluasi juga dilakukan secara periodik," katanya.
Dalam diskusi yang dipandu Hadi Soesanto, Ph.D, dosen Matematika Essex University ini, Hilman Latief menyatakan lembaga seperti itu dapat dijadikan mitra pendamping.
Dikatakannya bila punya banyak uang maka belum tentu siap menyalurkannya. Apa betul bisa dibawa ke penguatan ekonomi. Seberapa besar berdampak dan bagaimana polanya? Dia mengatakan ada larangan di Lazmu untuk mengelola langsung dana kegiatan ekonomi kecuali bermitra.
Tujuannya untuk mengurangi kegagalan, karena kata dia, jarang terdengar ada cerita sukses tentang pendampingan ekonomi akibat keterbatasan dan kapasitas.
Di lembaga zakat harus ada pengawas syariah yang mengerti akuntan.
Luqyan dan Murniati menyatakan hal senada. Ada bagusnya lembaga BAZ tidak langsung menangani ekonomi. Memang harus bermitra dengan orang lapangan. Pendampingan ekonomi harus sesuai kebutuhan masyarakat, apakah perlu bantuan tunai atau micro finance.
Hilman menambahkan, ada lembaga mitra yang menyalurkan dana untuk membentuk klinik gratis namun ditempatkan di lingkungan mewah atau tempat tersembunyi.
Padahal akses kesehatan sebenarnya ada di rural. Dia juga menyebutkan di tingkat masyarakat infaq lebih suka disalurkan untuk pembangunan masjid dari pada perbedayaan ekonomi, dan kesehatan karena lebih cepat terlihat. Bantuan untuk kegiatan pencegahan penyakit berupa penyuluhan dan latihan jarang menjadi fokus. (Antara)