Ketiga, belum terjadinya perbaikan sistem hukum nasional khususnya di bidang perpajakan. Pemerintah dan parlemen yang harusnya memprioritaskan revisi RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sudah masuk Prolegnas 2016 justru malah terkesan “ogah-ogahan” mensegerakan pembahasan. UU KUP, UU PNBP, UU PPn, UU PPh dan peradilan pajak harus segera direvisi agar loop-hole policy perpajakan makin sempit dan mempersempit ruang gerak praktik tax avoidence dan tax evasion.
Keempat, Pengampunan Pajak menunjukkan negara kalah dan tunduk pada para pengemplang pajak. Jika banyak negara menjadikan momentum Panama Paper, Automatic Exchange of Information (AEoI), dan transparansi pengendali utama perusahaan (transparency beneficial ownership) sebagai gerakan politik dan gerakan penegakan hukum, Indonesia justru memulai gerakan pemaafan.
"Keempat kondisi di atas adalah kunci bagi Indonesia, jika tidak segera dilakukan di tengah adanya Pengampunan Pajak, maka akan makin menjerumuskan sistem perpajakan Indonesia dalam jurang kekacauan dan makin kontra-produktif terhadap agenda reformasi perpajakan. Sehingga, bukan berkah yang didapat, tapi petaka yang menimpa," tutup Thohary.