FPB: Tax Amnesty Bukti Negara Tunduk Pada Pengemplang Pajak

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 29 Juni 2016 | 16:26 WIB
FPB: Tax Amnesty Bukti Negara Tunduk Pada Pengemplang Pajak
Pembahasan RUU Pengampunan Pajak. [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Meski diwarnai dengan kontroversi dan perdebatan alot, akhirnya sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak menjadi UU Pengampunan Pajak, pada Selasa (28/6/2016).  

Dalam banyak kesempatan, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro meyakinkan bahwa Pengampunan Pajak adalah keniscayaan yang harus diambil oleh pemerintah di tengah ketidakstabilan ekonomi global dan seretnya sumber penerimaan negara untuk membiayai proyek-proyek ambisius pemerintah. Pengampunan Pajak menjadi opsi paling mudah bagi pemerintah,  setelah tak lagi bisa "memainkan" realokasi subsidi bahan bakar minyak.

Pemerintah begitu berharap ada dana segar dari pembayaran tarif tebusan dan repatriasi untuk menambal defisit anggaran. Pemerintah seolah lupa bahwa ada banyak alasan mengapa orang kaya lebih krasan memarkirnya uang di negeri orang dari pada di negeri sendiri. Ironinya, Pemerintah berdalih Pengampunan Pajak adalah momentum terutama pasca terungkapnya berbagai skandal penggelapan pajak, pencucian uang, dan korupsi di Panama Papers. 

"Apakah memang kondisi fiskal kita “lampu merah”? Kami, Forum Pajak Berkeadilan (FPB) berkeyakinan tidak!," kataMaftuchan, salah seorang tokoh FPB dalam keterangan resmi, Rabu (29/6/2016).

Ia menjelaskan bahwa defisit anggaran dikarenakan pemerintah (birokrasi) terlalu boros dan tidak punya sistem perencanaan-penganggaran yang efektif. Artinya, jika efisiensi-efektifitas anggaran bisa dilakukan secara menyeluruh di Kementerian/Lembaga dan di pemerintah daerah, maka defisit akan sangat rendah.

Ia juga membantah bahwa Pengampunan Pajak merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, ada banyak cara yang bisa ditempuh seperti menutup kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang jumlahnya puluhan triliun, tutup kebocoran bea-cukai, tagih piutang pajak yang juga puluhan triliun, optimalisasi keberanian-kemampuan Dirjen Pajak dalam memungut pajak dan lain-lain.

"Pengampunan Pajak memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR justru terserang pragmatisme jangka pendek, panic attack, dan mengorbankan kepentingan jangka panjang yang lebih fundamental, seperti: reformasi perpajakan dan fiskal, penghormatan terhadap prinsip rule of law, equality of law, dan keadilan sosial. Padahal kasus kejahatan perpajakan sudah terbuka (Panama Papers, Lux Leaks dan lainnya). Alih-alih mengusut elit Indonesia yang tersangkut, pemerintah malah mempercepat Pengampunan Pajak," tutupnya.

FPB juga mengkritik bahwa pemerintah justru berbalik badan dan berharap kebaikan hati para pengemplang pajak untuk membawa kembali uangnya mudik ke Indonesia melalui pembayaran tarif tebusan dan repatriasi. "Terang bahwa pemerintah lebih memihak warga negara super kaya yang tidak patuh pajak dibanding ke warga negara menengah (kaum salariat) yang patuh bayar pajak," kata Wahyudi Thohary, dari Transparency International Indonesia sekaligus anggota FPB dalam kesempatan yang sama.

Thohari berkeyakinan kebijakan Pengampunan Pajak tidak akan efektif. Ada beberapa akar masalah yang belum teratasi dengan UU Pengampunan Pajak.  Pertama, pemerintah tidak atau belum membangun inovasi sistem keuangan domestik. Perbankan nasional memiliki dominasi yang cukup kuat pasar keuangan domestik, tapi tidak dapat memberikan banyak pilihan dan insentif untuk menarik dana asing untuk masuk ke dalam industri keuangan. Investasi sektor riil masih minim menunya dan skema untuk informal-underground economy masih kabur.

Kedua, ada potensi ketidakstabilan ekonomi yang sangat tinggi. Hal ini terutama terkait dengan komposisi kepemilikan Surat Utang Negara (SUN) dan SUKUK yang masih didominasi oleh investor asing, pun dengan tenor pendek. Lock-up period dana repatriasi dalam UU Pengampunan Pajak selama tiga tahun cukup pendek dan akan terjadi capital in-out-flow dalam waktu cepat. Hal ini berpotensi guncangan terhadap kondisi moneter dan fiskal Indonesia. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI