Satgas Pangan Bareskrim Polri telah memulai pengawasan pelaksanaan operasi pasar daging murah di 18 pasar tradisional sejak Selasa (21/6/2016). Ini adalah upaya untuk menstabilkan harga daging di berbagai daerah agar bisa turun menjadi Rp80 ribu per kilogram.
"Pelaksanaan pengawasan operasi pasar ini tidak kami lakukan sendiri. Kami juga menjalin kerjasama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Jadi kalau memang ada temuan kartel, nanti akan menjadi domain KPPU," kata kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya saat dihubungi oleh Suara.com, Kamis (23/6/2016).
Agung menjelaskan fokus utama pengawasan yang dilakukan Satgas Pangan Bareskrim Polri adalah memastikan rantai distribusi pangan lancar. Sehingga ketersediaan stok pangan di pasar senantiasa terjamin dan kenaikan harga bisa direm.
Walau demikian, diakuinya penindakan Polri terhadap praktik-praktik curang menimbun bahan pangan sehingga harga tak terkendali masih belum optimal.
"Masalahnya belum tentu semua tindakan menimbun bahan pangan dianggap sebagai tindak pidana. Walaupun UU sudah mengatur penimbun bahan pangan bisa dipidana, kan ada kategori lebih lanjut. Karena tidak semua tindakan menimbun bahan pangan masuk kategori pidana. Misalkan petani bawang merah menimbun hasil panennya, itu adalah hal yang wajar. Makanya butuh aturan teknis lebih lanjut dari pemerintah untuk bisa jadi indikator bagi kami mana yang bisa dipidana atau tidak. Aturannya saat ini sedang dalam perbaikan oleh pemerintah," tutup Agung.
Indonesia memang telah memiliki instrumen hukum untuk ‘mengejar’pelaku usaha yang melakukan penyimpanan dan penimbunan tersebut. Instrumen hukum tersebut ialah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan).
Di dalam ketentuan Pasal 53 UU Pangan, disebutkan bahwa Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Demikian juga dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan diatur bahwa Pelaku Usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Sanksi yang ditentukan oleh undang-undang tersebut meliputi sanksi pidana dan sanksi administratif (berupa denda, penghentian kegiatan produksi atau peredaran, dan pencabutan izin). Sanksi pidana diberikan apabila Pelaku Usaha melanggar ketentuan dalam Pasal 133 UU Pangan dan Pasal 107 UU Perdagangan. Apabila Pelaku Usaha Pangan melanggar ketentuan Pasal 133 UU Pangan, maka Pelaku Usaha Pangan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sedangkan, apabila Pelaku Usaha melanggar ketentuan Pasal 107 UU Perdagangan, maka Pelaku Usaha diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Sanksi pidana ini diberikan kepada Pelaku Usaha (Pangan) dalam 2 (dua) kondisi yang berbeda. Dalam keadaan Pelaku Usaha Pangan menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, maka dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 133 UU Pangan. Selanjutnya, apabila Pelaku Usaha menimbun ketika terjadi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, maka dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 107 UU Perdagangan. Diharapkan dengan adanya ancaman pidana ini para Pelaku Usaha tidak melakukan praktik penyimpanan atau penimbunan barang kebutuhan pokok.