Petani Sawit Dinilai Masih Sulit Akses Pembiayaan Perbankan

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 01 Juni 2016 | 06:59 WIB
Petani Sawit Dinilai Masih Sulit Akses Pembiayaan Perbankan
Perkebunan sawit di Kapuas, Kalimantan Tengah. [suara.com/Laban Laisila]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat. Dari tahun 2008-2013, tutupan lahan perkebunan bertambah mencapai 35 persen atau dari 7,4 juta ha pada tahun 2008 menjadi 10 ha pada tahun 2013. Tidak bisa dipungkiri, terjadinya pertumbuhan tersebut didorong oleh tingginya permintaan pasar global terhadap minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan untuk berbagai macam produk. Namun sayangnya, pesatnya pertumbuhan berbanding terbalik dengan kondisi petani mandiri komoditi sawit.

Berdasarkan hasil kajian TuK INDONESIA yang dilakukan di Propinsi Riau tahun 2016, petani sawit menghadapi kendala untuk mengoptimalkan produktivitas dan menghasilkan TBS yang berkualitas. Hal ini disinyalir terjadi karena petani mandiri tidak mendapatkan pendampingan pengelolaan kebun yang baik dan akses terhadap pembiayaan terutama dari perbankan. Sulitnya mengakses pembiayaan perbankan dipicu oleh indikator penilaian bank yang cukup tinggi, seperti penilaian terhadap risiko gagal panen, harga jual TBS rendah dan biaya produksi semakin tinggi.

Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK INDONESIA menyampaikan bahwa,  selain melihat akses petani ke perbankan, pihaknya juga hendak melihat apakah ada program pemerintah yang dialokasikan untuk pekebun mandiri. "Dimulai dengan memetakan kondisi petani kecil, akses pembiayaan usaha, aspirasi untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil dan tentunya untuk mendorong alternatif-alternatif ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup petani kecil mandiri dan pendidikan generasi penerusnya," kata Rahmawati di Jakarta, Selasa (31/5/2016).

Ichsan, Petani Mandiri, Kabupaten Siak, Riau mengungkapkan, bahwa selama ini di desa, masyarakat khususnya petani mandiri tidak banyak memiliki pengetahuan mengenai pembiayaan. Ternyata, pemerintah misalnya melalui BPDPKS (Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit) telah menyusun program pemberdayaan dan pembiayaan bagi petani, namun informasi ini nyatanya belum sampai ke level masyarakat bawah.

“Dengan adanya kajian  mengenai akses pembiayaan pekebun mandiri ini, kami berharap bahwa kondisi kami di desa dapat di dengar oleh pemerintah dan perbankan.  Saat ini, terutama di Desa kami, Empang Pandan, sedang dalam masa replanting dan butuh biaya banyak. Kami pernah mencoba mengajukan pinjaman ke perbankan, sayangnya penolakanlah yang kami dapatkan, harapannya program pembiayaan terutama terkait replanting dapat kami akses.” Ujar Ichsan, perwakilan petani Siak, Provinsi Riau saat berada di Jakarta, Selasa (31/5/2016). 

Dalam pengelolaan kebun, petani mandiri lebih banyak mengandalkan modal pribadi, padahal dana tersebut tidak cukup memenuhi syarat good agricultural practices. Ketika petani mandiri mencoba untuk mengakses pembiayaan dari perbankan, demi menunjang pengeloaan kebun tersebut, petani mandiri malah dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti masalah agunan, bunga pinjaman yang tinggi dan administrasi yang rumit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI