Pengamat ekonomi dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Salamudin Daeng menyatakan bahwa selain APBN yang gagal mecapai target, sektor keuangan Indonesia secara keseluruhan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo mengahadapi masalah yang sangat serius.
"Mengapa? Ini dikarenakan utang pemerintah dan swasta yang semakin besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri," kata Salamudin dalam keterangan tertulis, Selasa (31/5/2016).
Salamudin menjelaskan bahwa Lembaga Rating agency Moody's menyatakan meskipun utang pemerintah tergolong moderat namun nilai tukar yang tidak stabil mengdarapkan utang pemerintah pada resiko yang besar. Sebanyak 38 persen dari obligasi pemerintah daerahmerupakan mata uang asing dan investasi luar negeri. Bahayanya adalah, sejak awal Mei 2016 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menunjukkan tanda tanda akan semakin menurun.
Sementara utang swasta menghadapi masalah yang jauh lebih berat. Bahkan Moody's secara khusus memberikan warning terhadap utang swasta. Utang pemerintah berada pada posisi 26,8 persen dari PDB dan utang swasta 23,7 persen dari PDB. Utang swasta telah meningkat 11,3 persen dari tahun 2010, yakni dari 12,4 persen GDP menjadi 23,7 percent GDP dan didominasi oleh mata uang asing.
Menurut catatan BI, utang luar negeri pemerintah hingga kuartal I 2015 sebesar 151,312 miliar Dolar AS. Sedangkan utang luar negeri swasta senilai 164,673 miliar Dolar AS. Secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai 315,985 miliar Dolar AS atau sebesar Rp4.202 triliun.
Sepanjang pemerintahan Jokowi (kuartall IV 2014 – kuartal pertama 2016) utang luar negeri pemerintah meningkat 21,576 miliar Dolar AS, dan swasta meningkat senilai 22,657 miliar Dolar AS, sehingga secara keseluruhan utang luar negeri meningkat Rp.588,30 triliun. Sementara utang dalam negeri pemerintah dalam bentuk surat utang negera mencapai Rp1,327,44 triliun dan mengalami peningkatan senilai Rp235,09 triliun antara September 2014 – Desember 2015. "Pemerintahan Jokowi adalah yang paling berprestasi dalam menciptakan utang," jelas Salamudin.
Utang yang besar akan semakin menambah resiko yang dihadapi Indonesia, baik swasta maupun pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa Perusahaan telekomunikasi Trikomsel gagal bayar terkait obligasi dolar Singapura pada tahun 2015akibat defresiasi rupiah. Demikian pula dengan penambang batubara Berau Coal Energy Tbk gagal bayar, setelah Bumi Resources Tbk sebelumnya juga gagal bayar pada 2014. "Besar kemungkinan pemerintah Jokowi akan gagal bayar pada tahun 2016 dikarenakan APBN yang jauh dari target," tambah Salamudin.
Data BI menyebutkan utang luar negeri dan investasi asing dalam surat utang Negara dan swasta telah menyebabkan defisit pendapatan primer yang besar yang mencapai 28,15 miliar Dolar AS sepanjang tahun 2015, yang berarti bahwa uang yang keluar dari ekonomi Indonesia sebesar Rp374,41 triliun tanpa ada penggantinya.
"Sekarang pemerintah dan swasta saling bersaing untuk menyelamatkan diri masing masing. Bahkan pemerintah menetapkan bunga obligasi lebih tinggi dibandingkan dengan bunga deposito perbankkan, dalam rangka mencari uang untuk menambal ABPN. Tindakan pemerintah ini akan mempercepat ambruknya sektor keuangan, khususnya perbankan nasional," tutup Salamudin.