Asosiasi produsen film Amerika Serikat mengapresiasi langkah pemerintah dengan membuka 100 persen investasi asing untuk sektor perfilman. Hal itu dinilai sebagai awal yang sangat baik untuk membuat perusahaan-perusahaan perfilman dapat mulai mempertimbangkan untuk berinvestasi di Indonesia. Respons positif tersebut diperoleh dari hasil kunjungan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani ke Amerika Serikat bertemu dengan beberapa perusahaan yang bergerak sektor perfilman.
Franky Sibarani menyampaikan bahwa pertemuan dengan perusahaan-perusahaan film AS yang menguasai bisnis perfilman dunia tersebut dimanfaatkan untuk membicarakan beberapa hal strategis terkait perkembangan industri perfilman di Indonesia. “Beberapa hal yang disampaikan oleh anggota asosiasi adalah masalah capacity building seperti story telling skills, jumlah layar yang masih rendah dibandingkan dengan jumlah populasi serta yang tidak kalah pentingnya masalah hak cipta,” ujarnya dalam keterangan resmi kepada media, Sabtu (28/5/2016).
Menurut Franky, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan kementerian dan instansi terkait untuk mengatasi berbagai concern yang disampaikan. “Perusahaan-perusahaan perfilman juga mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia yang melakukan blokir kepada 53 situs yang menanyangkan produk-produk film dan melanggar hak cipta,” jelasnya.
Dia juga memaparkan bahwa capacity building menentukan ide cerita untuk memproduksi suatu film, jumlah layar dan hak cipta mempengaruhi kalkulasi bisnis dari segi distribusi dan eksibisi (sinema) mereka. “Kalau layar yang ada 5.000 layar berarti ada kemungkinan film mereka untuk diputar di 5.000 layar tersebut, kalau kondisi existing saat ini sekitar 1.159 lebih berarti potensinya hanya seperlima,” lanjutnya.
Dari data yang dikeluarkan oleh MPAA (Motion Pictures Assocition of America), dilihat dari daftar negara yang tercatat menyumbang dalam pemasukan box office, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup positif. Dari posisi tahun 2013 tidak masuk 20 negara terbesar, pada tahun 2014 Indonesia berada di peringkat 20 dengan nilai 0,2 miliar Dolar Amerika Serikat (AS), pada tahun 2015 naik menjadi peringkat 16 dengan nilai 0,3 miliar Dolar AS.
Franky optimistis bahwa perkembangan sektor perfilman di Indonesia akan terus meningkat. Antusiasme untuk menanamkan modal di Indonesia tidak hanya datang dari Amerika Serikat, namun juga dari negara-negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan dan Timur Tengah. “Berkembangnya sektor perfilman diharapkan positif terhadap tumbuhnya talent-talent di tanah air,” jelas Franky.
Perpres 44 tahun 2016 lebih terbuka untuk asing berbisnis di sektor perfilman. Sebelumnya sektor-sektor perfilman tertutup untuk asing atau dibatasi maksimal 49 persen. Diantaranya di dalam bidang usaha jasa teknik film termasuk studio shooting film (maksimal 49 persen), laboratorium film (maksimal 49 persen), fasilitas editing sound (maksimal 49 persen), film editing 100 persen PMDN, film subtitle 100 persen PMDN. “Saat ini seluruh bidang usaha tersebut terbuka untuk 100% asing, demikian halnya untuk produksi film, cinema, studio rekaman dan distribusi film,” ungkapnya.
Masuknya investasi di sektor perfilman, kata Franky, diharapkan mampu berkontribusi positif pada pencapaian target investasi nasional tahun 2016. Untuk diketahui, BKPM pada tahun 2016 menargetkan capaian realisasi investasi bisa tumbuh 14,4 persen dari target tahun 2015 atau mencapai Rp594,8 triliun. Realisasi ini dikontribusi dari PMA sebesar Rp386,4 triliun atau naik 12,6 persen dari target PMA tahun lalu, serta dari PMDN sebesar Rp208,4 triliun naik 18,4 persen dari target PMDN tahun lalu.