Suara.com - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mencatat sejak 2008 hingga 2016 yang nilai penerbitan sukuk mencapai 38 miliar dolar AS atau sekitar Rp503 triliun. Hal ini tentunya akan berampak pada jumlah utang Indonesia. Pasalnya sukuk ini bertujuan untuk menutupi defisit Anggaran pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara memastikan bahwa jual obligasi ini tidak akan mengganggu ratio utang Indonesia. Ia mengklaim, ratio utang Indonesia ini masih manageable sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Kalau ratio utang kita ini masih manageable kok di level 2 persen. Ini masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang sudah 250 persen. Kalau di Asia Tenggara kan ratio utang negara rata-rata 50-60 persen. Tapi pemerintah nggak mau sampai berlebihan. Kan batas di UU bisa sampai 60 persen kita nggak mau,” kata Suahasil saat dtemui di JCC, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (17/5/2016).
Ia pun mengaku, jika ada peningkatan ratio utang akibat penerbitan Sukuk ini tidak masalah jika dialirkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif atau bertujuan untuk pembangunan. Menurutnya, jika Sukuk ini diberikan untuk pembiayaan pembangunan akan memberikan dampak positif bagi perekonomian di Indonesia.
“Kalau buat BBM ya itu kan konsumtif nggak bagus. Karena sekarang juka subsidi BBM kan sudah dihapus jadi bisa kita alihkan ke proyek pembangunan,” katanya.
Suahasil pun mengatakan, di tahun2016 ini pemerintah menargetkan untuk penerbitan sukuk di dalam negeri sebesar Rp100 triliun. Sedangkan untuk sukuk global pemerintah sudah menerbitkan sukuk sebesar 2,5 miliar dolar AS.
“Kalau yang gobal kan sudah. Ini peminatnya sangat banyak. Yang kamarin yang global masuk 8 miliar dolar AS, ini naik tiga kali lipat. Tapi kita hanya ambil 2,5 miliar dolar AS,” tegasnya.