Hampir semua produk industri yang dibutuhkan oleh masyarakat (konsumen) dikemas menggunakan plastik. Menurut British Plastic Federation (BPF) Report 2015, 70 persen dari total penggunaan plastik di Indonesia digunakan untuk kemasan produk industri makanan dan minuman; 30 persen digunakan untuk berbagai tujuan lain seperti kemasan kosmetika, farmasi, minyak, bahan baku produk dan sebagainya.
Di sisi lain, data inflasi Badan Pusat Statistik pada kurun periode 2006 - 2016 menunjukan bahwa sektor industri makanan dan minuman selalu berada dalam urutan atas penyumbang inflasi nasional. Pengenaan cukai atas plastik kemasan produk industri sudah pasti akan memicu kenaikan harga jual produk industri terutama makanan dan minuman yang berarti akan meningkatkan laju inflasi nasional.
Bahkan tak hanya itu, daya saing industri nasional akan menurun. Dengan masuknya Indonesia dalam MEA sejak 1 Januari 2016, maka perdagangan dan perpindahan barang (movement of goods) serta investasi antar negara ASEAN semakin terbuka dan bebas. Penerapan cukai akan semakin beresiko melemahkan daya saing produk industri makanan dan minuman dalam negeri dan justru berpotensi mendorongya timbulnya perdagangan gelap (illicit trade).
Tak cuma makanan dan minuman, sektor industri kosmetik juga akan terpukul. Djoko Irawan, Wakil Ketua Bidang Industri Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (PERKOSMI) menjelaskan bahwa sektor kosmetik juga merupakan pelopor harmonisasi ASEAN melalui ASEAN Cosmetic Directive (ACD) yang membuat para pelaku sektor kosmetik diharuskan memiliki standard kualitas produk yang setara di seluruh negara ASEAN.
"Jika cukai kemasan ini diterapkan, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara yang mengenakan cukai kemasan plastik di antara negara ASEAN lainnya. Sudah pasti hal ini akan membuat daya saing sektor kosmetika di Indonesia tertinggal,” jelas Djoko dalam keterangan resmi, Rabu (11/5/2016).
Edi Rivai, Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS )menambahkan bahwa hingga saat ini, plastik sebagai kemasan juga belum memiliki alternatif pengganti, baik dinilai secara ekonomis maupun aspek teknis dan lingkungan. "Bahkan dari jumlah konsumsi energi yang dibutuhkan, proses pembuatan plastik relatif jauh lebih unggul dibandingkan material yang lain, karena membutuhkan energi paling sedikit (plastik: 3.1 kWh/kg) dibandingkan material lainya seperti kertas, gelas, baja, atau aluminium,” kata Edi.
Permasalahan sampah lingkungan bukan pada bahan kesalahan kemasan plastik tetapi lebih pada edukasi perilaku buang sampah dan pengelolaan sampah yang sangat perlu perbaikan dan dikelola.
“Jadi, meskipun kebijakan cukai dikenakan sebagai alat pengendalian, plastik akan tetap digunakan dan tidak berkurang penggunaannya dikarenakan belum adanya alternatif pengganti plastik kemasan yang sama baiknya,” tegas Edi.