Suara.com - Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo menyatakan mendukung langkah Kementerian Pertanian untuk membubarkan kesepakatan "Indonesia Palm Oil Pledge" (IPOP). Sebab persekutuan bisnis yang berpotensi menimbulkan monopoli memang tidak sesuai dengan semangat ekonomi berkeadilan yang tetuang dalam UUD 1945.
"Saya kira kalau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah menyatakan IPOP berpotensi menjadi kartel, tentu harus kita dukung kalau memang pemerintah akan membubarkannya," kata Edhy saat dihubungi Suara.com, Selasa (19/4/2016).
Edhy menegaskan bahwa UUD 1945 menggariskan bahwa ekonomi tidak boleh dikuasai segelintir kelompok tertentu yang bisa mengakibatkan kesejahteraan rakyat terpinggirkan. Kalaupun dibenarkan ada monopoli, itu hanya untuk negara yang memang diharuskan menguasai dan mengelolaan kekayaan alam yang bersifat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. "Jadi memang tidak boleh ada monopoli oleh kelompok kecil tertentu," ujar politisi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP Gerindra tersebut.
Sebagaimana diketahui, pada Kamis (14/4/2016), KPPU telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa IPOP tidak dapat diimplementasikan karena berpotensi menjadi sarana kartel yang akan menimbulkan praktik monopoli, dan atau persaingan usaha tidak sehat pada industri kelapa sawit nasional. IPOP sebagai kesepakatan pelaku usaha kelapa sawit diduga melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Karena itu KPPU akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut," kata Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Terdapat lima perusahaan sawit besar yang masuk dalam IPOP yaitu Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri. Kelima perusahaan itu menampung hampir 90 persen seluruh tandan buah segar (TBS) dan CPO Indonesia, termasuk di dalamnya TBS dari 4,5 juta sawit rakyat. Komitmen ini ditandatangani di sela-sela KTT Perubahan Iklim di New York September tahun 2014, menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Komitmen IPOP diduga untuk menjawab kritikan negara-negara Barat terhadap pemerintah Indonesia terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dianggap merusak lingkungan. Sejumlah aturan dalam IPOP dikritik keras, seperti soal HCS (high carbon stock) yang wajib dipenuhi oleh anggota IPOP. Aturan itu sama sekali tidak diatur di dalam UU dan peraturan lain di negara ini. Termasuk di dalam aturan standar wajib keberlanjutan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Jika standar HCS 35 diterapkan, bisa dipastikan separo atau sekitar 3 juta petani kelapa sawit di Indonesia akan kehilangan mata pencaharian mereka.