Sarman Simanjorang, Gagal Lamar Kerja Justru Sukses dalam Bisnis

Adhitya Himawan Suara.Com
Jum'at, 15 April 2016 | 20:52 WIB
Sarman Simanjorang, Gagal Lamar Kerja Justru Sukses dalam Bisnis
Sarman Simanjorang. [Dokumen pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kegagalan dalam mencari pekerjaan memang tak selayaknya membuat orang berputus asa. Bisa jadi dibalik kegagalan puluhan kali mencari pekerjaan, justru ada hikmah tersembunyi berupa peluang kesuksesan besar untuk memulai usaha sendiri. Fakta inilah yang menghiasi perjalanan hidup Sarman Simanjorang.

Awalnya, pria kelahiran Sumbul, Sumatera Utara, 14 Juni 1965  terjun kedalam dunia bisnis pada tahun 1991. Ia memutuskan masuk bisnis karena merasa lelah melamar berbagai pekerjaan namun ternyata gagal diterima. Mulai dari perusahaan swasta sampai menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai departemen pemerintahan. “Bahkan saya sampai ikut tes di sebuah bank swasta sampai tahap akhir, ternyata saya gagal lagi di tes tahap terakhir,” kenang Sarman saat diwawancarai Suara.com, di Jakarta, Rabu (13/4/2016).

Berbagai kegagalan itu, membuat dirinya bertekad untuk tidak mau lagi melamar pekerjaan. Ia ingin dirinya justru malah bisa membuka lapangan pekerjaan. “Sejak tahun itulah saya merintis usaha bernama PT Welhesa Abadi Perkasa,” lanjut Sarman yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Welhesa Abadi Perkasa.

Bisnis Welhesa awalnya dibidang advertising mulai dari acara ulang tahun Kota Jakarta sampai publikasi agenda sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada zaman Orde Baru.

Ketika krisis moneter 1998, bisnis Welhesa Abadi Perkasa sempat goyang. Sarman bahkan sempat menutup salah satu produknya, bubuk kopi cap Rajawali. Demi bertahan, ia memasuki berbagai bidang mulai kontraktor, supplier dan lain sebagainya. Usahanya berhasil, perusahaanya berhasil bertahan sampai kini.

Mulai tahun 2012, PT Welhesa Abadi Perkasa menjadi pengolah daging sapi untuk dijadikan sebagai bakso. Bakso produknya kemudian ditawarkan kepada berbagai usaha jualan bakso maupun usaha lain yang menggunakan bahan baku daging bakso. Namun Wellhesa tidak ikut menjadi importir daging sapi secara langsung. “Kebanyakan mitra kita adalah usaha kecil dan menengah (UKM),” tambah Sarman.   

Bisnis ini tidak bisa dibilang aman. Harga daging sapi yang kerap melambung tak terkendali banyak membuat mitra Welhesa yang berjualan bakso dan skala bisnisnya UKM kerap terpukul. Ini masih diperparah dengan kerasnya isu daging bakso yang dicampur dengan daging celeng (babi) sehingga penjualan bakso cukup drastis turunnya.

Lulusan sarjana strata dua administrasi publik STIAMI ini kini tak hanya bergulat dalam urusan bisnis. Ia juga aktif di berbagai organisasi. Beberapa di antaranya menjadi ketua umum DPD Hippi DKI Jakarta, wakil ketua umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta, ketua Komite Daging Jakarta Raya, anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta, wakil ketua umum Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI), dan ketua umum Forum CSR DKI Jakarta.

Mengenai peluang investasi di industri peternakan sapi, dirinya belum berniat melakukannya. Sebab usaha ini memerlukan modal yang sangat besar karena membutuhkan proses yang panjang dan terintegrasi, mulai dari pembibitan, perawatan, sampai kepada pemotongan hingga distribusi. “Sepertinya itu butuh perusahaan asing untuk masuk kesitu. Tapi di Indonesia, potensinya sangat besar karena memang belum ada peternakan sapi berskala industri besar,” tutup Sarman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI