Suara.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai industri perbankan merupakan salah satu pihak yang harus turut bertanggung jawab atas maraknya permasalahan yang terjadi di industri properti. Terutama atas kerugian yang dialami oleh konsumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh YLKI bersama dengan Koalisi ResponsiBank Indonesia perihal praktek penyaluran KPR oleh bank dan kaitannya dengan prinsip perlindungan konsumen. "Penelitian yang dilakukan pada triwulan-I 2016 tersebut menemukan bahwa selama ini bank tidak memberikan akses informasi dan edukasi yang cukup kepada konsumen dalam melakukan penawaran produk KPR," kata Sularsi, Peneliti Koalisi ResponsiBank dari unsur YLKI dalam keterangan resmi, Kamis (14/4/2016).
Akibatnya, konsumen seringkali dirugikan atas isi perjanjian kredit yang tidak dipahami termasuk dampak dan akibat hukum yang mungkin dialami oleh konsumen. Hal tersebut ditambah dengan sikap lepas tangan pihak bank atas wanprestasi yang mungkin dilakukan oleh developer “nakal” dalam berbagai bentuk, mulai dari gagal bangun, status tanah dan bangunan yang bermasalah, dan tidak adanya kepastian refund. Tercatat sejak tahun 2012, pengaduan masyarakat terkait sektor perbankan dan properti mendominasi pengaduan yang masuk ke YLKI.
Jumlah backlog yang mencapai 13,5 juta unitrumah pada tahun 2014, tidak diimbangi dengan pasokan yang hanya sebesar 400.000 unit per tahun. Ketimpangan suplai tersebut menyebabkan harga rumah di Indonesia melambung dan tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Karenanya, keterlibatan pihak ketiga, dalam hal ini bank, untuk memfasilitasi pembelian rumah melalui KPR sangat dibutuhkan.
Keterlibatan bank dalam penyediaan propertiternyata ternyata tidak menjamin proses penyediaan rumah dan KPR bebas dari masalah. Selain informasi yang terbatas, masalah lain yangmenjadi temuan penelitian ini adalah Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang tidak memberikan perlindungan kepada konsumen; adanya pembatasan pilihan produk KPR; dan kurangnya koordinasi antara OJK dan Kemenpu-Pera dalam praktek di lapangan.
“Bila dilihat secara Makro, permasalahan reklamasi teluk Jakarta hanya semacam fenomena gunung es atas permasalahan sector properti secara keseluruhan,” imbuh Sularsi.
“Oleh karena itu, konsumen perlu mendapatkan Informasi dan edukasi yang cukup dalam setiap tahapan penawaran/pemasaran KPR sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan pembelian rumah. Hal ini karena KPR akan mengikat konsumen dalam jangka panjang,” tambah Sularsi.
Rotua Tampubolon, koordinator ResponsiBank Indonesia dari Perkumpulan Prakarsa menambahkan bahwa perbankan merupakan salah satu pihak yang turut bertanggungjawab atas berbagai permasalahan yang dialami oleh konsumen di sektor properti. Praktik bisnis yang tidak sehat ini tidak bisa terus dibiarkan. "Pemerintah perlu membuat aturan yang lebih tegas untuk melindungi konsumen sektor properti, terutama mereka yang menggunakan fasilitas KPR dari bank," tutup Rotua.