Suara.com - Pembahasan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) masih terus bergulat diantara pemerintah dan DPR. Pemerintah sendiri berupaya mengejar agar pembahasan RUU Pengampunan Pajak bisa disahkan pada tahun ini.
Tax Amnesty ditujukan untuk pengampunan pajak terhadap aset yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak (WP), baik di dalam maupun luar negeri. Caranya dengan membayar uang tebusan dalam persentase tertentu (2 persen, 4 persen, dan 6 persen). Sementara berdasarkan tarif normal regulasi perpajakan saat ini, WP orang pribadi dipungut pajak dengan tarif progresif sesuai besaran penghasilan sampai dengan maksimal 30 persen, serta untuk badan usaha 25 persen.
Tax Amnesty dipandang oleh pemerintah sebagai solusi praktis mengatasi likuiditas negara. Sebagai contoh, GDP Indonesia kurang lebih Rp10.000 triliun, sementara Loan To GDP hanya 30 persen. Bandingkan dengan Singapura memiliki GDP hanya Rp.3000-an triliun, namun Loan to GDP Singapura mencapai 200 persen dari GDP. "Padahal, seperti kita ketahui bersama, banyak dari WNI yang memarkir dana dan asetnya di negara singa tersebut," kata Ketua HIPMI Tax Center Ajib Hamdani di Jakarta, Rabu (13/4/2016).
Namun Ajib mengingatkan bahwa Tax Amnesty berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi WP yang selama ini telah melaporkan aset dan membayar pajak dengan benar. WP yang patuh selama ini dikenakan pajak dengan tarif normal. Namun, dengan Tax Amnesty seolah – olah memberikan “Karpet Merah” bagi para pemilik dana yang disembunyikan di luar negeri dengan tujuan penghindaran pajak.
Oleh sebab itu Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mendorong agar kebijakan Tax Amnesty yang akan dijalankan tidak hanya menyentuh aset-aset yang belum dilaporkan, namun juga menyentuh keseluruhan permasalahan perpajakan yang dihadapi oleh para WP. Mulai dari yang tengah menghadapi pemeriksaan, proses penagihan, dan bahkan menunggak pajak untuk dapat pula diberikan pengampunan.
"Seluruh Pengusaha, entah Orang Pribadi atau Badan berhak mendapatkan privileged yang sama dalam kebijakan dan tarif atas aspek-aspek pajaknya," tutup Ajib.
Pembahasan RUU Pengampunan Pajak sendiri di Komisi XI mengalami penundaan. Sebab seluruh fraksi bersepakat untuk meminta digelarnya rapat konsultasi antara Pimpinan DPR dengan Presiden Joko Widodo. Permintaan tersebut merupakan hasil rapat yang diselenggarakan Badan Musyawarah (Bamus) DPR.