Kementan Tunggu Putusan KPPU untuk Bubarkan IPOP

Adhitya Himawan
Kementan Tunggu Putusan KPPU untuk Bubarkan IPOP
Tanaman kelapa sawit di Ketapang, Kaliamantan Barat. [Suara.com/Adhitya Himawan]

Jika KPPU nyatakan IPOP berpotensi jadi kartel industri sawit, pemerintah akan segera membubarkannya.

Suara.com - Kementerian Pertanian akan menjadikan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai landasan hukum untuk membubarkan implementasi Indonesian Palm Oil Pledge di Indonesia.

"Jika KPPU menyatakan IPOP berpotensi kartel, itu akan menjadi dasar kuat untuk menerbitkan pelarangan (IPOP)," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir di Jakarta, Senin (11/4/2016).

Gamal mengaku telah menerima hasil analisis atau penelitian dari KPPU yang menyatakan IPOP berpotensi menjadi sarana kartel dan pihaknya siap datang ke KPPU untuk berkoordinasi.

Menurut dia, koordinasi dengan KPPU ini juga dalam rangka mencari dasar hukum pelarangan implementasi IPOP di Indonesia.

"Ini semata-mata untuk melindungi petani sawit di Indonesia," katanya.

Menurut dia, Kementan masih berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mencari landasan hukum yang pas untuk membubarkan LSM berkedok advokasi perkebunan sawit berkelanjutan ini.

KPPU memutuskan IPOP berpotensi menjadi sarana kartel yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, lembaga ini meminta supaya kesepakatan IPOP sebaiknya tidak diimplementasikan.

Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keterangan Bernomor 184/K/X/2015 perihal Tanggapan KPPU terhadap IPOP. Terbitnya surat ini sebagai jawaban dari Surat yang dikirimkan Ibrahim Senen selaku Konsultan Hukum KADIN bernomor DNC/104-607-615/IX/ 15/431 Perihal Permohonan Kajian dan Analisa, terkait IPOP.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan kesepakatan IPOP hakekatnya adalah kesepakatan antar pelaku usaha tertentu yang memuat aturan mengikat pelaku usaha untuk mengimplementasikannya.

Implementasi IPOP akan berdampak terhadap pelaku usaha lain, dalam hal ini perusahaan pemasok tandan buah segar (TBS) yang di antaranya adalah pelaku usaha di luar pelaku usaha yang bersepakat.

IPOP dinilai KPPU berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena berpotensi mendistorsi pasar.

Selain itu, kesepakatan IPOP tersebut tidak sejalan dengan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan regulasi industri sawit Indonesia.

Menurut Syarkawi, terdapat perbedaan signifikan antara kesepakatan IPOP dengan kebijakan pemerintah (ISPO) yakni terletak pada penetapan standar kriteria lingkungan yang baik untuk perkebunan sawit.

ISPO menggunakan standar kriteria High Conservation Value Forest (HCVF), sementara para anggota IPOP sepakat untuk menambahkan kriteria High Carbon Stock (HCS).

Hal ini yang dinilai membuka potensi terjadinya hambatan masuk pasar bagi mitra anggota IPOP yang telah sesuai dengan kebijakan pemerintah, namun tidak memenuhi standar HCS.

Menurut Dirjen Perkebunan Gamal Nasir, dengan penerapan standar HCS yang terlalu tinggi berpotensi mematikan petani sawit di Indonesia, karena sebagian besar perkebunan sawit milik petani tidak bisa memenuhi standar tersebut.

Hasil analisis lainnya, kata Syarkawi, adalah kesepakatan IPOP memiliki posisi lebih tinggi kedudukannya dibanding regulasi pemerintah, padahal IPOP hanya merupakan kesepakatan pelaku usaha.

Dan sampai dengan saat ini, tidak ada dasar hukum bagi implementasi IPOP karena bukan regulasi.

Syarkawi menilai pemberlakuan standar yang tinggi oleh lima perusahaan dapat menekan harga kelapa sawit karena petani tidak memiliki akses penjualan.

"Pembeli yang didominasi pedagang besar menekan harga kelapa sawit petani," katanya.

Menurut pengusaha kelapa sawit asal Aceh, Sabri Basyah, harga sawit tertekan 10-15 persen karena dinilai tak sesuai kriteria IPOP.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengapresiasi keputusan KPPU tersebut serta mendukung langkah Kementan yang akan menjadikan keputusan KPPU tersebut sebagai landasan hukum untuk membubarkan IPOP.

Namun Firman mendesak pemerintah agar segera menerbitkan peraturan yang isinya membubarkan implementasi IPOP di Indonesia.

"Pemerintah harus segera buat peraturan tertulis, entah itu peraturan menteri atau peraturan pemerintah, sehingga bisa dijadikan pegangan bagi pemerintah sendiri untuk membubarkan IPOP. Secara politis kami siap memback up," tegas Firman.

Direktur IPOP Nurdiana Darus mengatakan anggota IPOP telah proaktif berkonsultasi dan berdiskusi dengan KPPU tentang ikrar dan implementasinya sejak Juni 2015.

Kemudian, KPPU mengeluarkan surat resmi yang menyatakan bahwa IPOP berpotensi sebagai sebuah kartel dan menuliskan beberapa poin rekomendasi atas pernyataan tersebut.

"Sejak saat itu, IPOP telah berupaya untuk memenuhi rekomendasi tersebut, serta terbuka untuk monitoring dan evaluasi di masa mendatang," ujarnya. (Antara)