Prakarsa: Indonesia Dalam Kondisi Darurat Mafia Perpajakan

Adhitya Himawan Suara.Com
Jum'at, 08 April 2016 | 07:39 WIB
Prakarsa: Indonesia Dalam Kondisi Darurat Mafia Perpajakan
Gedung Firma Hukum Mossack Fonseca. [panamapapers.icij.org]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Panama Papers" mengungkap praktik gelap ribuan perusahaan siluman dan perilaku ribuan orang super kaya di seluruh dunia dalam pengelolaan keuangannya. Panama adalah salah satu negara surga pajak sehingga kuat dugaan bahwa mereka sedari awal punya rencana melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (tax avoidance/tax evasion).

Panama hanya satu dari puluhan negara tax havens yang menyediakan fasilitas bagi korporasi, orang super kaya, dan pelaku kejahatan lainnya agar dapat menghindari dan mengelak bayar pajak.

Banyak pengusaha dan elit politik dunia yang masuk daftar dalam "Panama Papers". Hal ini mengkonfirmasi bahwa praktik-praktik kotor penghindaran dan pengelakan pajak telah menjadi ancaman serius bagi negara-negara dalam mobilisasi penerimaan pajak untuk pembiayaan pembangunan. 

"Panama Papers menunjukkan bahwa dunia sudah berada di era darurat kejahatan pajak. Hal ini harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk segera membasmi praktik penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan pencucian uang oleh wajib pajak Indonesia, baik perorangan maupun badan hukum. Presiden perlu segera membentuk Gugus Kerja Anti Mafia Kejahatan Pajak yang berisi gabungan antara lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang kredibel. Gugus Tugas bekerja untuk mengusut daftar nama yang masuk Panama Papers dan negara surga pajak lainnya,” kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, dalam keterangan resmi, Kamis (7/4/2016).

Panama Papers juga menunjukkan buruknya sistem keuangan dan ekonomi global sehingga sistem ekonomi harus segera ditata ulang. Indonesia perlu memelopori perubahan tata kelola keuangan global terkait sistem perpajakan, penghentian rezim kerahasiaan data perpajakan dan perbankan, pertukaran informasi antarnegara dan penguatan hukum, administrasi dan kelembagaan perpajakan. "Presiden Jokowi dapat menggunakan forum G-20 sebagai ruang untuk mendesakkan agenda-agenda tersebut. Selain itu, Jokowi dapat mengusulkan pembentukan Badan Perpajakan Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa,” tegas Khoirun Nikmah, Program Manager International NGO for Indonesia Development (INFID) dalam kesempatan yang sama.

Global Financial Integrity/GFI (2015) melaporkan bahwa setiap tahun negara berkembang kehilangan satu triliun dolar Amerika Serikat akibat korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang. GFI memprediksi bahwa potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram jumlahnya hampir Rp 200 Triliun tiap tahunnya. “Tingginya aliran uang haram dari Indonesia diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (kelompok kaya, superkaya, dan korporasi), tingginya prevalensi korupsi pajak, praktik penggelapan dan penghindaran pajak dengan metode perekayasaan keuangan keuangan yang rumit, dan rendahnya kinerja otoritas pajak Indonesia,” tambah Dadang Trisasongko, Sekretaris Jendral, Transparency International Indonesia (TII).

Koalisi Publish What You Pay Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-7 negara dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang tahun 2003-2012 Indonesia tercatat mengalirkan dana sebesar Rp. 1,699 triliun atau rata-rata pertahun mencapai Rp 167 triliun. "Dengan metode penghitungan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran uang haram di Indonesia di tahun 2014 sebesar Rp. 227,75 triliun atau setara dengan 11.7% dari total APBN-P tahun 2014. Khusus di sektor pertambangan nilai aliran uang haram diperkirakan mencapai Rp 23.89 triliun, di mana Rp 21.33 triliun berasal dari transaksi perdagangan ilegal dan Rp 2,56 triliun berasal dari alirang uang panas. Di tengah rendahnya tax ratio sektor pertambangan yang hanya mencapai 9.4% mengindikasikan masih maraknya praktik penghindaran dan pengemplangan pajak di sektor pertambangan," ungkap Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia. 

Menyikapi permasalahan darurat kejahatan pajak ini, Forum Pajak Berkeadilan meminta kepada pemerintah untuk juga membatalkan rencana pemberian pengampunan pajak (tax amnesty) kepada wajib pajak super kaya karena akan kontra-produktif terhadap upaya optimalisasi penerimaan pajak. Ini juga akan menjadi langkah mundur penegakan hukum perpajakan-pencucian uang. "Di samping itu, pengampunan pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak, pengampunan pajak akan melemahkan ‘wibawa’ pemerintah di hadapan orang super kaya dan korporasi dan pengampunan pajak akan melukai wajib pajak kecil-menengah (kaum salariat yang bergaji bulanan) yang selama ini patuh bayar pajak,” tutup Ah Maftuchan, sebagai Koordinator Forum Pajak Berkeadilan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI