Suara.com - Anggota Komisi XI DPR RI Eva Kusuma Sundari mengapresiasi kebijakan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro yang menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Namun ia mengkritik bahwa kebijakan tersebut belumlah cukup.
"Kebijakan itu cukup bagus untuk menolong masyarakat ekonomi lemah. Tetapi bagi saya, itu belum cukup. Seharusnya pemerintah melakukan kebijakan yang bersifat afirmative, yaitu pembebasan pajak untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro," kata Eva saat dihubungi Suara.com, Kamis (7/4/2016).
Eva mencontohkan negara Inggris yang menerapkan kebijakan penarikan pajak lebih rendah untuk kaum perempuan. Kebijakan ini berdampak positif dalam menjaga stabilitas daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Inggris. "Model ini juga diterapkan di Singapura. Seharusnya Indonesia juga melakukannya," ujar Eva.
Politisi PDI Perjuangan tersebut mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia sedang lesu. Ketika dunia usaha sedang tertekan dan daya beli masyarakat sedang menurun, tidaklah bijaksana jika pemerintah terus membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro dengan pajak. "Itulah mengapa kebijakan pembebasan pajak sangat penting diterapkan," tutur Eva.
Terkait verifikasi data wajib pajak yang layak mendapat pembebasan atau tidak, ia menuturkan kuncinya adalah keakuratan data. Disinilah letak persoalannya. Menurutnya, selama ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terkesan seolah jalan sendiri. "Selain itu DJP tidak mendapat akses data dari industri perbankan. Selain itu, seharusnya Kementerian Perindustrian juga membuka akses data arus investasi dalam dunia usaha," tutup Eva.
Sebagaimana diketahui, Menkeu Bambang Brojonegoro menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 122/PMK0.10/2015 tentang Penyesuaian PTKP. Dalam beleid tersebut, pemerintah menaikkan PTKP dari Rp36 juta pertahun atau Rp3 juta perbulan menjadi Rp54 juta pertahun atau Rp4,5 juta perbulan. Tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan daya beli masyarakat. Jika belanja masyarakat naik, pertumbuhan ekonomi diyakini bisa terdongkrak lebih cepat. Diperkirakan kebijakan ini akan membuat potensi penerimaan pajak turun menjadi Rp18 triliun. Kebijakan ini berlaku mulai Juni 2016.