Suara.com - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengaku sampai saat ini pihaknya masih melakukan kajian rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok yang akan mengalami kenaikan sebesar 10 persen pada 2019 mendatang.
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, Irawan mengatakan, kenaikan tersebut akan dilakukan secara bertahap mengingat normalisasi peraturan tersebut akan mulai diberlakukan akhir 2017 mendatang. Pasalnya, tahun ini pemerintah sudah memberlakukan penyesuaian tarif menjadi 8,7 persen mulai 1 Januari 2016.
”Tahun ini sepertinya belum. Tahun depan belum ada kenaikan, nanti kita evaluasi kalau 8,7 persen berjalan dengan baik, ya kita akan ubah tarifnya,” kata Irawan saat ditemui di kantornya, Senin (28/3/2016).
Menurutnya, penggenaan PPN idealnya 9,1 persen atau bisa mencapai 10 persen. Pasalnya, tarif PPN tembakau di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Padahal, PPN tembakau masih potensial mengingat harga tembakau Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
"Kita mau normalin-lah, tapi memang belum ada rencana perubahan tarif atau prosedur sekarang ini. Kalau untuk tarif normal, kan dari harga pabrikan ke distributor berapa," katanya.
Namun, pihaknya mengaku tidak mau terlalu terburu-buru menaikkan PPN tembakau tersebut. Mengingat proses proses peralihan akibat faktur konvensional ke e-faktur yang dilakukan oleh distributor rokok. Paling penting, DJP akan memperbaiki faktur elektronik (e-faktur) perusahaan rokok.
"Butuh waktu, karena kalau tarif normal kan mereka harus mengurus e-faktur. Selama ini kan mereka tidak masuk sistem karena pungutannya di pabrikan. Nanti mereka harus terdaftar," kata Irawan.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 11,19 persen mulai 1 Januari 2016 lalu. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menuturkan penaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok ini sudah memperhitungkan aspek kesehatan, serta mengakomodisi kemampuan pabrik dan petani rokok. Langkah ini dilakukan karena pemerintah mengejar target penerimaan negara dari cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 146,4 triliun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.10/2015 yang diteken Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro pada 6 November 2015 Tentang Perubahan Kedua PMK 179/PMK.011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, kenaikan tarif cukai rokok terbesar ada pada rokok sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih sebesar 12,96-16,47 persen. Rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 11,48-15,66 persen, dan sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 0-12 persen.