Keresahan merebak di kalangan petani Australia. Rasa galau itu menjalar karena produk mereka terancam produk impor murah. Kisah ini boleh jadi sangat akrab dengan kondisi petani di Tanah Air, tetapi Australia punya cerita yang sedikit berbeda.
Seperti dikutip dari Biro Statistik Australia (ABS), Senin (28/3/2016), industri pertanian di Australia pada periode 2014--2015 bernilai 53,6 miliar dolar Australia atau setara dengan Rp534,7 triliun (1 dolar Australia = Rp9.975,00). Angka ini naik Rp28 triliun dibanding tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan signifikan pada budi daya sorgum yang banyak digunakan untuk pakan ternak.
Namun, di balik pertumbuhan nilai industri pertanian, khusus untuk industri sayuran Australia justru kemerosotan terjadi, demikian disampaikan ekonom dari asosiasi industri sayuran AUSVEG Andrew Kruup.
Jumlah lahan untuk menanam sayuran telah menyusut 12.000 hektare sepanjang tahun kemarin, menyebabkan penurunan Rp1,6 triliun terhadap nilai industri sayur-mayur Australia.
Lebih lanjut Andrew Kruup, seperti dilansir laman ABC Rural, memaparkan pada periode 2014/2015 jumlah budi daya sayur anjlok 15 persen. Produksi jamur amblas 29 persen, sementara paprika dan tomat turun 12 persen. Menurut dia, kondisi ini terjadi akibat produk-produk Australia yang makin kalah bersaing dengan beraneka produk impor dari Cina, Italia dan AS.
"Sepanjang tahun finansial 2014/2015 kita melihat impor produk sayur negara ini naik 7 persen, dan ini mulai mengancam industri domestik, selain pula menjadi penyebab menyusutnya besaran industri sayur negeri kami," katanya.
Kenyataan pahit ini terjadi di tengah impian Australia menjadi pengekspor produk-produk hortikultura berkualitas tinggi. Sentra-sentra produksi sayur mayur di negara bagian Queensland, New South Wales, Victoria, dan Australia Barat mengalami penurunan produksi.
"Petani Australia sulit bersaing ketika harus berhadapan dengan produk impor yang lebih murah di pasaran," tambah Kruup yang juga dikutip oleh kantor berita AAP.
Kalangan industri sayur di Australia mendesak pemerintah agar membantu menurunkan biaya produksi untuk meningkatkan daya saing produk di pasar impor.
AUSVEG menyadari sayuran yang ditanam di Australia memiliki kekuatan merek sebagai produk yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan. Akan tetapi, harga yang relatif mahal sering membuat pembeli "kabur".
Australia mengimpor hampir 200.000 ton sayur dari Italia, Cina dan AS pada periode 2014/2015. Ini berarti menyumbang 63 persen total produk sayur impor di Australia.Sementara itu, pada periode sebelumnya (2013/2014) volume impor naik 12 persen ke Rp7,56 triliun dan ekspor bertambah 4 persen ke Rp2,55 triliun.
Defisit pada perdagangan komoditas sayur-mayur ini telah berlipat ganda dalam kurun waktu 5 tahun. Australia pernah menikmati surplus untuk perdagangan produk sayuran 9 tahun yang silam.
Impor sayur terbagi menjadi tiga jenis utama: produk olahan (naik 19 persen pada tahun 2012/2013), sayuran beku (naik 12 persen), dan sayur segar (turun 3 persen).
Yang mendominasi komoditas impor Australia adalah produk olahan, yang bila digabungkan dengan produk beku menguasai 75 persen pasar sayur impor.
Menyitir data AUSVEG yang memuat 12 negara utama sumber impor pada periode 2013/2014, produk impor dari Selandia Baru naik 18 persen (Rp1,86 triliun), dari Italia melonjak 36 persen (Rp1,1
triliun), dan Cina justru turun 2 persen atau setara dengan Rp20 miliar (Rp1,07 triliun).
Selain tiga negara tadi, ada Amerika Serikat (Rp717 miliar), Belanda (Rp440 miliar), Thailand (Rp288,7 miliar), Belgia (Rp235,7 miliar), Turki (Rp212 milar), Peru (Rp181,5 miliar), Meksiko (Rp151,9 miliar), India (Rp138,5 miliar), dan Spanyol (Rp136,7 miliar) sebagai negara-negara sumber impor produk sayuran di Australia. (Antara)