Pengampunan Pajak Bukan untuk Ampuni Koruptor

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 20 Maret 2016 | 19:52 WIB
Pengampunan Pajak Bukan untuk Ampuni Koruptor
Warga mendatangi Pojok Pajak untuk menyerahkan surat pemberitahuan (SPT) pajak di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, Jumat (11/3). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Guru Besar Perpajakan FISIP Universitas Indonesia (UI) Gunadi mengatakan, pengampunan pajak (tax amnesty) bukanlah untuk mengampuni para koruptor, tetapi ditujukan kepada para wajib pajak yang selama ini kurang patuh dalam melaporkan dan membayar pajaknya.

"Ada persepsi yang tidak benar di masyarakat, pengampunan pajak itu bukan untuk mengampuni koruptor dan tidak menghilangkan hukuman pidana seperti korupsi," kata Gunadi di Jakarta, Minggu (20/3/2016).

Gunadi menjelaskan, aparat hukum tetap bisa melakukan penyelidikan dugaan korupsi kepada para wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak.

Hanya saja, para penegak hukum tidak bisa mengakses data-data seorang wajib pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi aparat penyidik hukum harus mendapatkan sumber data dari sumber lain.

"Data wajib pajak sangat dirahasiakan Ditjen Pajak. Ditjen Pajak tidak bisa memberikan data itu kepada siapapun," ujarnya.

Menurut Gunadi, pengampunan pajak harus diterapkan. Tanpa pengampunan pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan sulit menambah jumlah wajib pajak orang pribadi (WPOP), khususnya WPOP nonkaryawan.

Dia menjelaskan, jumlah penerimaan WPOP nonkaryawan di Indonesia masih sangat kecil. Padahal, potensinya sangat besar. Tahun lalu, jumlah peneriman WPOP nonkaryawan hanya Rp 5 triliun.

Jumlah penerimaan pajak WPOP nonkaryawan bahkan jauh lebih kecil dari WPOP karyawan yang mencapai Rp 95 triliun.

"WPOP nonkaryawan itu kan contohnya pengusaha. Logikanya, uang pengusaha pasti lebih banyak dari para karyawan, tapi kok jumlah pajaknya lebih kecil. Nah, dengan pengampunan pajak, diharapkan mereka masuk (menjadi wajib pajak) dan akhirnya Ditjen Pajak memiliki data-data mereka untuk kepentingan perpajakan ke depannya," ujar Gunadi.

Pengamat perpajakan Darussalam menambahkan, jika pemerintah hanya menunggu semua masyarakat sadar dan patuh dalam membayar pajak, hal itu justru akan menjadi lebih tidak adil bagi WP yang selama ini sudah patuh karena beban pajak tidak terdistribusi secara adil kepada semua masyarakat.

Selain itu, penerapan tax amnesty sebelum diberlakukannya Automatic Exchange of Information (AEoI) dan penegakan hukum pada 2017-2018 bertujuan memperkecil terjadinya tax disputes (sengketa pajak) dan penegakan hukum dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

Jika tidak ada tax amnesty, penerapan AEoI dua tahun berpotensi menimbulkan ledakan tax disputes yang pada akhirnya menimbulkan beban biaya tinggi bagi WP dan otoritas pajak.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menegaskan, program pengampunan pajak merupakan program penting pemerintah untuk memuluskan agenda-agenda pembangunan.

Ia mengatakan, pemerintah membutuhkan program pengampunan pajak untuk mengejar target pajak yang naik sekitar 34 persen. Kenaikan itu dilakukan demi menggenjot pembangunan infrastruktur.

"Pengampunan pajak bisa menjadi kesempatan dan alat untuk mencapai target itu," kata Teten di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/3).

Dia menjelaskan, pengampunan pajak bukan hanya dapat menambah penerimaan negara dengan tarif tebusan yang dibayar para wajib pajak saat mengikuti pengampunan pajak. Tapi juga menambah likuiditas lantaran pengampunan pajak mencantumkan skema repatriasi aset.

Dengan repatriasi aset tersebut, akan ada 'capital inflow' secara besar-besaran.

"Dana-dana yang masuk ini akan memperkuat sumber dana pembangunan," ujar Teten.

Dana hasil repatriasi aset, kata Teten, bisa saja digunakan oleh para wajib pajak untuk menanamkan modalnya sehingga dapat menumbuhkan investasi. "Kalau investasi tumbuh, lapangan pekerjaan bisa bertambah. Kita butuh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan investasi karena angka pengangguran kita masih cukup tinggi," ucap dia.

Teten yakin DPR tidak akan mempersulit proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak. Dia juga percaya DPR bersikap bijak dengan tidak mengharapkan barter antara RUU Pengampunan Pajak dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya kira tidak. Tidak akan dipertukarkan dengan revisi UU KPK," kata Teten.

Seperti diketahui, proses pembahasan RUU Pengampunan Pajak telah diputuskan DPR untuk ditunda setelah reses atau baru akan dibahas pada April mendatang. Keputusan penundaan pembahasan RUU Pengampunan Pajak tersebut diputuskan DPR tak lama setelah pemerintah memutuskan menunda pembahasan revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR.

"Tapi, kita akan sama-sama ingin pembangunan berjalan. Untuk menjalankan itu butuh pendanaan yang sekarang paling besar dari pajak lantaran anjloknya harga minyak," ujar Teten.

Menurut catatan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada tahun lalu berhasil menembus level tertinggi sepanjang sejarah, yakni sebesar Rp1.055 triliun. Namun, realisasi penerimaan tersebut baru 81,5 persen dari target yang dipatok Rp1.294 triliun di APBNP 2015. Akibatnya, setoran pajak kurang (shortfall) Rp239 triliun, lebih besar dari pada yang diharapkan Menkeu Rp195 triliun. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI