Suara.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan, jadwal keputusan akhir investasi atau final investment decision (FID) proyek Blok Masela bakal mundur dua tahun.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi di Jakarta, Rabu (16/3/2016) mengatakan, jadwal FID Masela yang sebelumnya direncanakan pada 2018 akan mundur menjadi akhir 2020.
"Inpex Indonesia menyatakan bahwa seandainya keputusan diberikan saat ini sesuai rekomendasi SKK Migas yaitu memakai skema 'offshore' (FLNG), maka jadwal FID akan mundur kurang lebih dua tahun ke akhir 2020," katanya.
Ia menyayangkan, dalam situasi ekonomi Indonesia yang sedang menggalakkan investasi, proyek Masela senilai lebih dari 14 miliar dolar AS, yang sudah di depan mata, harus mundur minimal dua tahun.
Dampak lainnya, lanjutnya, adalah rakyat Maluku akan tertunda menerima manfaat proyek Masela minimal dua tahun.
Amien menambahkan, Inpex Indonesia juga telah menginformasikan akan melakukan "downsizing" hingga 40 persen dari total personil di Indonesia.
"Kami khawatir hal ini akan dapat menimbulkan 'lay off'," ujarnya.
Demikian pula, Shell telah meminta insinyurnya di Belanda, Kuala Lumpur, dan Jakarta yang semula beekerja untuk proyek Masela segera mencari pekerjaan baru di lingkungan Shell global lainnya.
Keputusan revisi rencana pengembangan (plan of development/POD) Blok Masela akan dilakukan sendiri oleh Presiden Joko Widodo mengingat nilai investasi dan dampak yang besar.
Sementara, sesuai regulasi, POD suatu blok migas sebenarnya cukup diputuskan oleh Menteri ESDM.
Presiden akan memutuskan apakah pengembangan Masela itu memakai skema kilang terapung (floating liquified natural gas/FLNG) atau darat (onshore liquified natural gas/OLNG).
Kedua skema tersebut mempunyai plus dan minus masing-masing.
Proyek Masela dikembangkan kontraktor asal Jepang, Inpex Masela Ltd yang sekaligus sebagai operator dengan kepemilikan partisipasi 65 persen dan Shell Corporation mempunyai 35 persen.
Blok Masela terletak di lepas pantai Laut Arafura berbatasan dengan Australia dan Timor Leste.
Keputusan pengembangan Blok Masela memang dilakukan sendiri oleh Presiden Jokowi mengingat nilai investasi dan dampak yang besar. Sementara, sesuai regulasi, pengembangan suatu blok migas sebenarnya cukup diputuskan oleh Menteri ESDM Sudirman Said.
Presiden akan memutuskan apakah pengembangan Masela itu memakai skema kilang terapung (floating liquified natural gas/FLNG) atau darat (onshore liquified natural gas/OLNG) pada 2018. Kedua skema tersebut mempunyai plus dan minus masing-masing.
Blok Masela dikembangkan kontraktor asal Jepang, Inpex Masela Ltd yang sekaligus sebagai operator dengan kepemilikan partisipasi 65 persen dan Shell Corporation mempunyai 35 persen.
Selama ini Blok Masela dianggap memiliki potensi kandungan gas yang bisa digunakan untuk memasok kebutuhan energi domestik dari produksi gas/LNG yang berlokasi di lapangan Abadi, Blok Masela, Maluku. Selain itu, SKK Migas juga sudah menyampaikan plant of development (POD) proyek tersebut.
Isu Blok Masela memang kontroversial karena menimbulkan polemik perbedaan pendapat antara Menteri ESDM Sudirman Said dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dengan Menko Maritim Rizal Ramli. Dalam hitungan SKK Migas, untuk membangun fasilitas di laut alias offshore, Inpex membutuhkan dana investasi sebesar US$ 14,8 miliar. Sementara untuk membangun fasilitas LNG di darat atau onshore, membutuhkan dana US$ 19,3 miliar.
Hasil ini beda dengan hitungan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Menurutnya, pembangunan pipa gas sepanjang 600 kilometer menuju Pulau Aru investasinya hanya sekitar US$ 15 miliar. Ia lebih condong Indonesia membangun fasiltias di darat karena akan lebih mudah membangun industri turunan yang mampu menghasilkan produk olahan dengan bahan bakar gas namun memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi seperti industri petrokimia.