Suara.com - Koalisi Responsibank Indonesia mengadakan kuliah umum bertema "Kebijakan Investasi Perbankan Indonesia dan Implikasinya pada Hak Masyarakat dalam Industri Sawit" di kampus Universitas Indonesia pada Selasa, (15/3/2016). Koalisi ResponsiBank yang yang terdiri dari Perkumpulan Prakarsa, YLKI, WALHI, PWYP Indonesia, ICW, INFID serta Transparansi untuk Keadilan berupaya mendorong industri perbankan yang lebih baik dan bertanggungjawab, sebagai bagian dari dari Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) di sepuluh negara.
Naiknya permintaan minyak sawit selama satu dekade belakagan berimplikasi pada makin masifnya ekspansi industri kelapa sawit di Indonesia melalui peningkatan produksi dan pembukaan lahan untuk perkebunan. Untuk itu, perusahaan membutuhkan dukungan pendanaan dari perbankan. Ketika bank memberikan kredit kepada perusahaan perkebunan sawit yang membuka lahan dengan menggunduli hutan atau mengeringkan rawa gambut, mengusir penduduk asli dari tempat tinggal mereka dengan cara-cara kekerasan, serta membuang limbah serampangan yang mencemari sumber air dan pangan masyarakat lokal, maka secara tidak langsung bank sudah terlibat dalam kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
"Tanggung jawab atas kerusakan ekologi yang telah terjadi harus diemban oleh berbagai pihak di dalam value chain bisnis di sektor sumber daya alam, termasuk perbankan. Perbankan memiliki peluang besar untuk melakukan perbaikan dan pencegahan atas kerusakan ekologi yang lebih buruk," kata Rahmawati Retno Winarni, peneliti dari Transformasi untuk Keadilan.
Sebagai pihak yang memiliki peran intermediari untuk menyalurkan dana masyarakat ke sektor bisnis, bank perlu menerapkan aturan terkait sustainability dalam kebijakan kredit dan investasi mereka. Salah satunya dengan mengikuti panduan Roadmap Keuangan Berkelanjutan dari Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator. Selain itu, menurut Rahmawati, lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi juga dapat berkontribusi dengan melakukan kajian dan diseminasi hasil kajian secara lebih intensif mengenai peran dan tanggung jawab lembaga pendanaan di sektor SDA sehingga terbangun kesadaran publik dan keputusan investasi yang lebih sustainable.
Rotua Tampubolon, koordinator Koalisi ResponsiBank dari Perkumpulan Prakarsa menambahkan bahwa perusahaan kelapa sawit melakukan greenwashing dengan menggunakan istilah sustainable sebagai pencitraan semata, tanpa benar-benar mengindahkan prinsip keberlanjutan dalam operasional usaha mereka. "Karena itulah, Bank harus membuat aturan tegas sebelum meyalurkan kredit dan investasi untuk menjamin agar perusahaan benar-benar menerapkan prinsip keberlanjutan, tidak merusak lingkungan, dan menjunjung tinggi HAM," tutup Rotua dalam kesempatan yang sama.