Suara.com - Direktorat Jenderal Pajak ingin meningkatkan kapasitas pemeriksa dan penyidik pajak saat mendalami profil para Wajib Pajak untuk mendorong optimalisasi penerimaan dan kepatuhan pembayar pajak.
"Kita akan memacu untuk mencapai kapasitas maksimum pemeriksa dari saat ini 1 banding 15, nanti kita tingkatkan 1 pemeriksa menjadi 20 wajib pajak," kata Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Edi Slamet Irianto di Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Edi menjelaskan peran pemeriksa dan penyidik pajak sangat penting dalam penegakan hukum, karena realitanya masih banyak Wajib Pajak yang belum menunaikan kewajibannya dalam membayar pajak secara sadar.
Untuk itu, kapasitas pemeriksa dan penyidik pajak harus ditingkatkan, karena makin banyak Wajib Pajak yang sengaja melakukan penghindaran pajak dan melakukan pembayaran pajak serendah mungkin.
Beberapa di antaranya Wajib Pajak Badan yang mengaku rugi, namun kegiatan operasionalnya tetap berjalan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumbangan pajaknya kecil, padahal termasuk golongan orang kaya.
"Kita akan mempercepat pemeriksaan, karena saat ini semua sudah berbasis teknologi informasi. Paling lama secara aturan empat bulan, kalau untuk Wajib Pajak Orang Pribadi tiga bulan," kata Edi.
Menurut dia, upaya peningkatan efektivitas penegakan hukum melalui revitalisasi pemeriksaan dan penyidikan pajak menjadi krusial karena Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan tahun 2016 sebagai penegakan hukum.
Untuk itu, kesigapan 4.551 fungsional pemeriksa dan penyidik pajak di seluruh Indonesia sangat berarti dalam optimalisasi penerimaan pajak, terutama bila pembahasan RUU Pengampunan Pajak tidak bisa selesai tepat waktu.
"'Tax amnesty' sekarang belum ada, jadi kita tetap berusaha melakukan upaya pemeriksaan supaya penerimaan bisa tumbuh lebih baik," jelasnya.
Salah satu target dari pemeriksa maupun penyidik pajak mulai tahun 2016 adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang selama ini belum membayar Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan 29 sesuai potensinya.
Saat ini, penerimaan PPh Pasal 25 dan 29 hanya mencapai Rp9 triliun dari 900 ribu Wajib Pajak pada 2015, padahal jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki NPWP 27 juta dan yang melaporkan SPT Tahunan 10 juta.
Mengacu data Kementerian Keuangan, kinerja penerimaan pajak negara dalam dua bulan pertama tahun 2016 masih loyo. Realiasasi penerimaan pajak Januari-Februari 2016 baru mencapai Rp122,4 triliun. Jumlah ini turun 5,4 persen dibanding Januari-Februari 2015 yang mencapai Rp130,8 triliun. Harga minyak dunia yang merosot dituding jadi penyebab karena membuat penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas untuk negara juga merosot.
Hasil akhir perhitungan realisasi penerimaan pajak selama 2015 menurut Kementerian Keuangan tercatat mencapai Rp 1.060 triliun. Bila dibandingkan dengan target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015, yakni Rp 1.294 triliun, maka dapat dikatakan realisasi tersebut kurang sekitar Rp 234 triliun. Namun dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh 7,8 persen, penerimaan pajak nasional tahun lalu tumbuh 12 persen.
Tahun ini, dalam APBN 2016 yang telah ditetapkan, penerimaan pajak negara ditargetkan mencapai Rp1.360,1 triliun. Target tersebut terdiri dari target penerimaan PPh Non Migas mencapai Rp715,8 triliun, Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp571,7 triliun, PPh Migas mencapai Rp41,4 triliun. Ditambah target Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp19,4 triliun dan pajak lainnya sebesar Rp11,8 triliun. (Antara)