Suara.com - Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Surya Chandra mengakui ada perbedaan data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang simpang siur antara pemerintah dengan kaum buruh. Perbedaan ini sudah berlangsung lama selama beberapa tahun.
"Karena memang ada beda penafsiran PHK itu sendiri. Kementerian Tenaga Kerja mungkin merujuk data pelaporan resmi pengajuan PHK yang dilayangkan oleh perusahaan. Sementara organisasi buruh, menganggap semua peristiwa berhenti bekerja dianggap sebagai PHK," kata Surya saat dihubungi Suara.com, Kamis (3/3/2016).
Mantan salah satu kandidat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengkritik sebagian perusahaan yang enggan melaporkan kebijakan PHK yang dilakukannya. Padahal mengacu UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), semua kebijakan PHK memang harus dilaporkan kepada pemerintah. "Tidak semua perusahaan memang mematuhi aturan itu," ujar Surya.
Sebagaimana diketahui, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bilang, sepanjang Januari hingga akhir Februari jumlah laporan yang masuk ke KSPI atas pekerja terkena PHK mencapai 12.680 orang. Sektor usaha yang melakukan PHK ialah industri elektronik, komponen otomotif dan motor, minyak serta farmasi. Di luar itu, ada beberapa perusahaan sudah memberikan penawaran kepada para karyawan agar mengundurkan diri. Ancaman PHK diantaranya datang dari sektor farmasi, yakni Sandoz dan Soho Grup.
Data ini berbeda dengan data Kementerian Tenaga Kerja. Versi pemerintah, jumlah pekerja yang terkena sepanjang dua bulan pertama tahun 2016 ini hanya 1.565 kasus. PHK yang terjadi di awal tahun 2016 ini bahkan diklaim turun bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang 1.700 kasus.