Suara.com - Dua perbankan syariah sudah meminta izin kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan produk lindung nilai atau "hedging" berbasis syariah, guna mengantisipasi risiko kurs dari penarikan pembiayaan mata uang asing.
Direktur Program Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia Edi Susianto, dalam paparan di Jakarta, Rabu (2/3/2016), mengatakan sejak beberapa tahun terakhir, pelaku industri keuangan sudah meminta acuan dan landasan penerapan lindung nilai syariah.
Permintaan acuan lindung nilai itu karena meningkatnya kebutuhan uang valuta asing oleh pelaku industri keuangan syariah.
"Aspirasinya sudah lama. Hingga saat ini, ada dua bank syariah yang sudah meminta izin ke OJK," ucap Edi.
Edi mengatakan permintaan valas oleh pelaku syariah meningkat, karena biaya haji yang juga meningkat, semakin gencarnya kegiatan ekspor impor oleh pelaku ekonomi syariah, dan juga ramainya pembelian obligasi syariah berdenominasi valuta asing.
"Untuk ongkos naik haji, misalnya, penyelenggara juga bayarnya juga dalam valuta asing," tuturnya.
Edi mengatakan lindung nilai syariah sangat diperlukan, terutama karena terus berkembangnya ekonomi syariah di Tanah Air, dan kebutuhan pembiayaan valas.
Jika pembiayaan valas tidak dilindungi, fluktuasi kurs rupiah dapat menganggu stabilitas di pasar keuangan syariah.
Sedangkan bagi pelaku usaha dan investasi syariah, melemahnya kurs saat pembiayaan memasuki jatuh tempo, akan meningkatkan biaya dana yang akhirnya bisa memengaruhi kegiatan bisnis.
Maka dari itu, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia 18/2/PBI/2016 atau dikenal sebagai peraturan transkasi lindung nilai berdasarkan prinsip "hedging" syariah.
"Banyak aspirasi perbankan syariah agar regulator segera keluarkan aturan ini," ujarnya.
Dalam PBI tersebut, diatur pelaku lindung niali syariah adalah nasabah, Bank Usaha Syariah atau Unit Usaha Syariah, dan Bank Umum Konvensional.
Pelaksanaan lindung nilai, menurut aturan BI, harus didahului dengan perjanjian mengenai besaran kurs yang akan menjadi acuan dalam pembayaran di masa datang (forward agreement) atau serangkaian "forward agreement".
Sementara akad yang digunakan adalah "Tahawwuth Al Basith" atau "Tahawwuth Al Muarakkab".
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memanfaatkan fasilitas ini diantaranya adalah tidak untuk spekulatif sehingga perlu "underlying" atau jaminan yang tidak dapat diperdagangkan.
Kemudian, nominal dan jangka waktu lindung nilai syariah maksimal sama dengan "underlying". Jika ada pembatalan, wajib dengan penyerahan dana pokok secara penuh.
"Underlying" transaksi meliputi perdagangan barang dan jasa atau investasi namun tidak termasuk penempatan pada bank lain, transfer dana oleh perusahaan transfer dana dan pembiayaan yang belum ditarik.
Edi menambahkan PBI tersebut juga telah mengikuti Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang dan Fatwa DSN Nomor 96/DSN-MUI/III/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah. (Antara)