Suara.com - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menginginkan pemerintah lebih bersikap tegas terhadap perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia dengan menyetop dispensasi ekspor konsentrat perusahaan yang beroperasi di Papua tersebut.
"Hipmi tetap meminta konsistensi pemerintah agar bersikap tegas kepada Freeport," kata Ketua Umum Hipmi Bahlil Lahadalia, di jakarta, Selasa (1/3/2016).
Menurut dia, perusahaan tersebut kerap menimbulkan masalah seperti dulu pemerintah membolehkan Freeport mengekspor konsentrat dengan syarat perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu memenuhi janjinya membangun smelter di Gresik, Jawa Timur.
Namun hingga kini, lanjutnya, dalam pantauan Hipmi, progres atau langkah kemajuan pembangunan smelter Freeport itu hanya mencapai 14 persen.
Bahlil mengingatkan semua perusahaan tambang saat ini mengalami kesulitan likuiditas.
Baik perusahaan tambang nasional maupun domestik, lanjutnya, juga mengalami hal yang sama sehingga tidak boleh ada pengecualian.
"Kami ingin semua sama-sama bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Jangan hanya segelintir pelaku usaha yang bersusah-susah," kata Ketum Hipmi.
Sebagaimana diketahui, dengan alasan kesulitas likuiditas, PT Freeport McMoran mengajukan penangguhan jaminan setoran senilai 530 juta dolar AS sebagai salah satu persyaratan perpanjangan ekspor konsentrat Freeport yang berakhir pada 28 Januari 2016.
Sebelumnya, Kementerian ESDM memberikan izin ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan jangka waktu enam bulan ke depan dengan kuota satu juta ton.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan rekomendasi tersebut diberikan karena Freeport telah merespon dan bersedia memenuhi bea keluar yang ditetapkan pemerintah sebesar lima persen.
Ia menambahkan pihaknya yakin bahwa Freeport akan memenuhi target pembangunan smelter, karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sudah mengeluarkan setoran sebesar 168 juta dolar AS walaupun kewajiban pembangunan smelter sebesar 60 persen belum tercapai.
Dari informasi yang dihimpun, izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia telah habis masa berlakunya pada 28 Januari 2015 lalu. Izin ini belum diperpanjang, karena Kementerian ESDM memberikan syarat pembayaran dana jaminan 530 juta dolar AS, jika Freeport ingin memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaganya.
Dana 530 juta dolar AS tersebut dipersyaratkan sebagai bukti komitmen Freeport membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral di Indonesia atau smelter. Dikarenakan, Freeport dianggap belum menjalankan kewajibannya membangun smelter dengan baik.
Sebagai informasi, kewajiban membangun smelter merupakan implementasi turunan dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam beleid tersebut, pemerintah melarang adanya kegiatan ekspor untuk beberapa komoditas termasuk konsentrat tembaga, emas dan perak yang diproduksi Freeport.
Namun, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Freeport masih diperbolehkan mengekspor konsentrat dengan memenuhi sejumlah prasyarat.
Selain administratif, perusahaan ini juga harus melaporkan kemajuan proyek smelternya dengan perkembangan paling sedikit 60 persen dari target pembangunan setiap enam bulan sekali. (Antara)