UU Perbankan Direvisi Agar Otoritas Pajak Bisa Akses Data Nasabah

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 29 Februari 2016 | 14:22 WIB
UU Perbankan Direvisi Agar Otoritas Pajak Bisa Akses Data Nasabah
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (pajak.go.id)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan Pemerintah berpotensi meningkatkan porsi utang untuk menutup pembiayaan, bila kebijakan pengampunan pajak tetap dilaksanakan.

"Indonesia bisa terjebak utang luar negeri yang besar jika RUU Tax Amnesty tidak diloloskan DPR. Ini akan jadi tanggung jawab dan beban moral DPR juga karena mereka turut membahas APBN tiap tahun," kata Yustinus di Jakarta, Senin (29/2/2016).

Yustinus menambahkan kemungkinan terburuk lainnya adalah ekspansi fiskal untuk pembiayaan program prioritas pun menjadi terhambat karena pemerintah harus memangkas anggaran yang ditujukan untuk mendorong pembangunan.

Untuk itu, menurut dia, penundaan maupun pembatalan RUU Pengampunan Pajak akibat tidak disetujui DPR bisa membuat kerugian lebih besar karena bisa mengganggu kredibilitas pemerintah serta menurunkan partisipasi wajib pajak.

Ia menjelaskan kebijakan pengampunan pajak bisa bersinergi dengan era pertukaran informasi perpajakan pada 2018. Namun apabila kebijakan itu gagal dilaksanakan, maka pemerintah akan kesulitan menambah wajib pajak baru.

Meskipun demikian, adanya era pertukaran informasi perpajakan, belum tentu berpotensi menambah basis wajib pajak baru. Oleh karenanya dibutuhkan juga revisi UU Perbankan, agar otoritas pajak bisa mengakses data nasabah.

"Kerugiannya akan besar (kalau tidak ada tax amnesty dan revisi UU perbankan), kena dua kali, tidak dapat kewajiban pajaknya dan basis pajak baru. Nantinya, mau tidak mau, pembiayaan pembangunan mengandalkan utang luar negeri atau belanja dipangkas," ujar Yustinus.

Pelaksanaan pertukaran informasi perpajakan antar negara, kata dia, membutuhkan keterbukaan informasi sistem perbankan dan data aset wajib pajak di luar negeri, maka sinergi itu sangat dibutuhkan agar penerimaan pajak benar-benar memadai untuk pembangunan.

Dalam jangka waktu dekat, lanjut dia, pengampunan pajak merupakan kebijakan efektif untuk memperkuat basis wajib baru, karena penguatan otoritas pajak saat ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Selain itu, kebijakan ini juga tidak mencederai rasa keadilan karena pengampunan pajak hanya ditujukan bagi wajib pajak yang memiliki aset besar, terutama di luar negeri, namun tidak dilaporkan seutuhnya kepada otoritas pajak.

Namun, para pengusaha UKM yang belum terdaftar juga bisa terlibat dalam kebijakan ini karena nantinya pebisnis lokal tersebut bisa masuk dalam sistem informasi formal dan mengakses pembiayaan dari sektor perbankan.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, hasil akhir perhitungan realisasi penerimaan pajak selama 2015 tercatat mencapai Rp 1.060 triliun. Bila dibandingkan dengan target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015, yakni Rp 1.294 triliun, maka dapat dikatakan realisasi tersebut kurang sekitar Rp 234 triliun. Namun dibandingkan tahun 2014 yang tumbuh 7,8 persen, penerimaan pajak nasional tahun lalu tumbuh 12 persen.

Tahun ini, dalam APBN 2016 yang telah ditetapkan, penerimaan pajak negara ditargetkan mencapai Rp1.360,1 triliun. Target tersebut terdiri dari target penerimaan PPh Non Migas mencapai Rp715,8 triliun, Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp571,7 triliun, PPh Migas mencapai Rp41,4 triliun. Ditambah target Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp19,4 triliun dan pajak lainnya sebesar Rp11,8 triliun. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI