IPW: Dana Tabungan Perumahan Rakyat Jangan Jadi Bancakan

Adhitya Himawan Suara.Com
Jum'at, 26 Februari 2016 | 15:03 WIB
IPW: Dana Tabungan Perumahan Rakyat Jangan Jadi Bancakan
Perumahan sederhana di Citayam, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Indonesia Property Watch (IPW) menginginkan dana Tabungan Perumahan Rakyat yang telah aturan mekanismenya telah disahkan melalui UU Tapera oleh DPR RI, Selasa (23/2.2016), jangan sampai menjadi bancakan pihak tertentu.

"Indonesia Property Watch mencatat beberapa hal yang harusnya disikapi kritis oleh pemerintah agar jangan sampai dana besar yang ada di Tapera menjadi dana bancakan oleh pihak-pihak tertentu," kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (26/2/2016).

Menurut dia, setelah berdiskusi dengan sejumlah pakar pembiayaan perumahan, hal yang disorot antara lain syarat utama kepesertaan Tapera adalah mereka yang menerima upah di atas UMP dengan iuran sebesar 3 persen dari upah tiap bulan, dimana 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar pengusaha.

Melihat hal ini, lanjutnya, maka tentunya beban pengusaha menjadi bertambah dan dipertanyakan kehadiran pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat, karena yang terjadi adalah penyediaan rumah dari masyarakat ke masyarakat dengan azas gotong royong.

"Azas ini terkesan baik, namun sering terperangkap dengan menghilangkan peran dan tanggung jawab negara secara langsung," ucapnya.

Selain itu, ujar dia, pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono yang mengatakan ada dana Tapera yang akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp33 triliun menjadi modal untuk Tapera.

Hal tersebut, lanjutnya, tentunya berbeda karena FLPP sangat erat kaitannya dengan UU No. 1 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan penyalurannya pun berbeda.

"Yang sangat disayangkan lagi ketika ada peran Manajer Investasi (MI) yang menjadi wajib dalam kelolaan dana Tapera. Hal ini akan membuat biaya tinggi untuk membayar MI dan keluar dari visi Tapera sebagai lembaga nirlaba," ujarnya.

Ali Tranghanda menilai, dana yang dikelola oleh MI itu sangat besar dan berpotensi menjadi dana bancakan dan memasuki area pengelolaan secara komersial.

Dia mengemukakan, memang diperlukan pengawasan tetapi saat ini masih belum ada pasal yang menyebutkan mengenai pengawasan kelolaan dana tersebut.

"Bagaimana bila kemudian investasi yang ada merugi, siapa yang tanggung jawab, karena berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa dituntut atas kerugian yang ada. Uang rakyat dipermainkan untuk kepentingan pihak tertentu," ujarnya.

Untuk itu, IPW menegaskan bahwa secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan.

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Yoseph Umar Hadi menilai, UU Tapera merupakan terobosan baru bidang perumahan di Indonesia dan dinilai mampu mengatasi persoalan mendasar sektor ini, terutama dari sisi pembiayaan.

"Ini terobosan baru untuk menjawab persoalan dasar soal pembiayaan perumahan," katanya saat dihubungi di Jakarta, terkait dengan disahkannya Rancangan Undangan-undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna ke-19 DPR RI masa persidangan III tahun 2015-2016, di gedung DPR RI, Selasa (23/2).

Ia menyampaikan bahwa kemampuan keuangan negara (APBN) dari tahun ke tahun sangat terbatas dan untuk menyediakan rumah bagi masyarakat yang miskin saja, pemerintah sudah kewalahan karena hanya mampu menyediakan rata-rata 300.000-500.000 unit setiap tahun, sementara kebutuhan yang ada mencapai 800.000 unit per tahun.

Sementara kebutuhan rumah untuk masyarakat di atas garis kemiskinan atau di atas upah minimum belum tertangani dengan baik. "Masyarakat yang berada dalam segmen ini atau yang sering disebut sebagai masyarakat berpenghasilan rendah yang jumlahnya mencapai puluhan juta atau sekitar 40 persen juga memerlukan perhatian," tambahnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI