Kecewa Tak Garap KA Cepat, Ada Pejabat Jepang Sebut RI Berkhianat

Siswanto Suara.Com
Minggu, 21 Februari 2016 | 13:33 WIB
Kecewa Tak Garap KA Cepat, Ada Pejabat Jepang Sebut RI Berkhianat
Lokasi pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung [Antara/Hafidz Mubarak]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bahlil Lahadalia lawatan hampir sepekan ke Jepang baru-baru ini. Selain melakukan kunjungan dagang dan memberikan ceramah di Persatuan Pelajar Indonesia Ehime, Bahlil juga menggelar pertemuan dengan sejumlah pejabat setempat, diplomat, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, para pengusaha muda Jepang serta Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang Yusron Ihsa Mahendra.

Bahlil mengatakan HIPMI menangkap Jepang sangat kecewa karena gagal menggarap proyek prestisius kereta api cepat Jakarta-Bandung. Sebab itu, Bahlil mengusulkan agar Presiden Joko Widodo kembali merangkul negeri Sakura dalam berbagai pengerjaan proyek infrastruktur dan transportasi di Tanah Air.

“Ada kekecewaan yang berat dari pihak Jepang, termasuk pemerintahnya. Itu yang kita tangkap. Makanya kita usul agar Bapak Presiden memulihkan kepercayaan Jepang kepada kita dengan merangkul dalam berbagai proyek pembangunan lainnya,” ujar Bahlil dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada Suara.com, Minggu (21/2/2016).

Bahlil mengatakan kekecewaan tersebut lantaran Jepang yakin sekali bahwa Indonesia akan memilih mereka menjadi mitra strategis dalam pembangunan transportasi kereta cepat Jakarta Bandung. Pasalnya, Jepang telah menjadi mitra strategis dalam membantu pembangunan sejak tahun 1970-an.

“Ini bukan soal hanya persaingan kedua negara, atau persaingan bisnis. Tapi Jepang kan sudah terbukti menjadi mitra strategis kita dalam membangun infrastruktur sejak lama. Bukan ujug-ujug datang bawah proposal. Dia yakin kita teman sejatinya,” kata Bahlil.

Saking kecewa, ujar Bahlil, seorang pejabat Jepang sempat menilai Indonesia telah berkhianat terhadap Jepang yang telah menjadi mitra sejatinya selama lebih dari empat dekade.

Sebagaimana diketahui pemerintah kemudian memilih perusahaan asal Cina untuk menggarap proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Padahal, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe telah memasukkan proyek tersebut dalam agenda untuk mengejar proyek-proyek infrastruktur di luar negeri guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi domestik.

Pemerintah Indonesia beralasan, pemilihan perusahaan Cina tersebut sebab proyek tersebut merupakan kesepakatan B to B dan tidak melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Hipmi sendiri berpandangan proyek tersebut dinilai feasible secara ekonomi-politik, selagi tidak menggunakan APBN dan tidak merugikan atau menghilangkan aset negara di perusahaan negara yang menjadi mitra perusahaan Cina tersebut. Proyek kereta super cepat tersebut diperkirakan menelan biaya Rp78 triliun atau sekitar 635,8 miliar yen (4,3 miliar dolar AS).

Bahlil mengatakan peranan Jepang dalam membangun perekonomian Indonesia selama ini tidak boleh dipandang sebelah mata.

“Salah satu ciri khas investasi Jepang di kita itu dia sifatnya jangka panjang, masuk ke sektor riil, dia berani bangun manufaktur otomotif, dan dia masuk dalam labor intensive. Dia serap banyak tenaga kerja. Komitmennya jangka panjang dan memberi nilai tambah pada perekonomian,” ujar Bahlil.

Data Hipmi Research Center menunjukkan Jepang menduduki peringkat ketiga dengan nilai rencana investasi di Indonesia mencapai Rp100,6 triliun, meski masih di bawah Cina dan Singapura. Investasi Jepang pada 2015 tersebut naik 130 persen jika dibandingkan dengan capaian pada 2014 di posisi Rp43,7 triliun.

Tak hanya itu, Jepang merupakan pangsa pasar ekspor nonmigas utama Indonesia setelah Amerika Serikat. Pada Januari 2016, ekspor nonmigas terbesar Indonesia yakni ke Amerika Serikat dengan total 1,23 miliar dolar AS atau 13,10 persen, disusul Jepang 1,04 miliar dolar AS atau 11,11persen dan Tiongkok 886,7 juta dolar AS atau 9,44 persen. Sedangkan untuk ekspor ke ASEAN sebesar 1,92 miliar dolar AS atau 20,48 persen dan ke Uni Eropa 1,16 miliar dolar AS atau 12,40 persen.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI