Hilirisasi Industri Berbasis Mineral Logam Jadi Prioritas

Adhitya Himawan Suara.Com
Jum'at, 19 Februari 2016 | 10:17 WIB
Hilirisasi Industri Berbasis Mineral Logam Jadi Prioritas
embaran baja di pabrik Sunrise Steel, Mojokerto, Jawa Timur, Kamis (18/2). [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Perindustrian telah menetapkan langkah strategis yang akan diprioritaskansalah satunya adalah hilirisasi industri berbasis mineral logam dengan fokus pada empat kelompok sektor industri yaitu besi baja, tembaga, aluminium, dan nikel.

Sekjen Kemenperin Syarif Hidayat, Kamis (18/2/2016), menyampaikan bahwa upaya ini sesuai dengan Kebijakan Industri Nasional (KIN) tahun 2015-2019 sebagai pelaksanaan amanat UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.

Syarif menyampaikan, pengembangan industri berbasis mineral logam menjadi prioritas karena akan mendukung kebutuhan beberapa sektor, antara lain transportasi, konstruksi bangunan, permesinan, infrastruktur, energi, listrik, telekomunikasi, kemasan, alat rumah tangga, alat kesehatan, dan elektronik.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) I Gusti Putu Suryawirawan menyampaikan, dari perspektif ekonomi, besi baja merupakan logam dasar paling utama. "Kini besi baja memiliki nilai penjualan global sebesar USD 225 miliar per tahun," kata Gusti dalam pernyataan resmi, Kamis (18/2/2016).

Pada tahun 2015, produksi besi baja dunia mencapai 3 miliar ton. Produsen utama besi baja adalah Tiongkok yang memberikan kontribusi sebesar 50 persenproduksi dunia, yang diikuti Jepang, Amerika Serikat dan India.Selanjutnya, industri logam tembaga (copper) berada di peringkat dua sebagai logam dasar utama dengan nilai penjualan global sebesar USD 130 miliar per tahun. Pada tahun 2015, produksi tembaga dunia mencapai 18,7 juta ton, dimana produsen terbesar berasal dari Chili, yang diikuti Tiongkok dan Peru.

“Untuk aluminium memiliki nilai penjualan global sebesar USD 90 miliar per tahun dengan nilai produksi mencapai 49,3 juta ton, dimana produsen utamanya berasal dari Tiongkok, kemudian Rusia, Kanada, dan Uni Emirat Arab,” ungkap Putu.

Sementara itu, nilai penjualan nikel secara global sebesar USD 40 miliar per tahun, yang kebutuhan utamanya digunakan sebagai paduan untuk membuat stainless steel. Pada tahun 2015, produksi nikel mencapai 2,4 juta ton dengan produsen utama berasal dari Brazil dan Rusia.

Potret industri mineral logam

Putu juga menjelaskan potensi besar mineral logam di Indonesia. “Potensi pasir besi sebesar 2 miliar ton, bijih besi 935 juta ton, bijih bauksit 918 juta ton, bijih nikel 1,5 miliar ton, dan bijih tembaga 23,8 miliar ton,” sebutnya.

Ia merinci kebutuhan dan pasokan empat komoditi industri mineral logam. Pertama, produksi baja tahun 2014 sebesar 6 juta ton, naik menjadi 10 juta ton pada tahun 2015. Peningkatan tersebut dari kontribusi PT.Krakatau Posco yang mulai berproduksi dengan kapasitas 3juta ton crude steel dan penambahan kapasitas produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebesar1 juta ton crude steel.

“Diperkirakan kebutuhan crude steel pada tahun 2025 mencapai 20 juta ton. Sedangkan, total Investasi yang dibutuhkan sampai tahun 2025 guna membangun fasilitas smelter industri besi baja dengan total kapasitas 14 juta ton adalah USD 14 miliar,” paparnya.

Sementara itu, total kebutuhan energi sampai tahun 2025 guna membangun fasilitas smelter industri besi baja dengan total kapasitas 14 juta ton adalah sebesar 1.174 MW. “Untuk memenuhi demand produk besi baja dari tahun 2013 sampai tahun 2025 dengan mengoptimalkan bahan baku dari dalam negeri, diperkirakan membutuhkan bahan baku bijih besi sebesar 250 juta ton dan pasir besi sebesar 110 juta ton,” ujar Putu.

Kedua, kebutuhan tembaga sampai tahun 2025 diperkirakan sebesar 1,37 juta ton. Sementara itu, tahun 2013 produksi dalam negeri mencapai 0,18 juta ton sehingga dalam 12 tahun diperlukan tambahan 1,19 juta ton.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan demand produk tembaga (katoda tembaga) tahun 2013-2025, perlu mengoptimalkan bahan baku dari dalam negeri berupa bijih tembaga sebesar 202 juta ton. “Sementara itu, guna memenuhi kebutuhan energi tersebut, pembangunan smelter tembaga dengan kapasitas total 1,5 juta ton pada tahun 2025 maka dibutuhkan kepastian supply energi setara energi listrik sebesar 475 Mega Watt,” paparnya.

Ketiga, produksi aluminium dalam negeri pada tahun 2013 sebesar 0,25 juta ton, sedangkan kebutuhan hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai 2,73 juta ton sehingga dibutuhkan tambahan produksi sebesar 2,5 juta dalam jangka waktu 12 tahun.

Pada tahun 2016, terdapat penambahan fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina dari PT. Harvest sebesar 1 juta ton dan PT. Antam sebesar 1,2 juta ton, termasuk dengan target pada tahun 2018 yang diharapkan sudah mendirikan smelter untuk mengolah alumina tersebut untuk menghasilkan aluminium ingot sebesar 1,1 juta ton. Di samping itu, hingga tahun 2017 terdapat tambahan kapasitas produksi 0,15 juta ton dari PT. Inalum.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan demand produk aluminium (al ingot) dari tahun 2013-2025, perlu mengoptimalkan bahan baku dari dalam negeri berupa bauksit sebesar 74,4 juta ton. Sementara itu, guna memenuhi kebutuhan energi atas pembangunan smelter dengan kapasitas total 3,5 juta ton pada tahun 2025, dibutuhkan kepastian supply energi listrik sebesar 11.200 Mega Watt dengan asumsi untuk menghasilkan 1000 ton al ingot membutuhkan 3 MW dan 1000 ton alumina membutuhkan 0,32 MW.

Dan, keempat, produksi nikel dalam ferronickel pada tahun 2013 sebesar 180 ribu ton dan diperkirakan kebutuhan stainless steel pada tahun 2025 akan mencapai 400 ribu ton. “Untuk memenuhi demand tahun 2025 tersebut, diperlukan tambahan pembangunan smelter,” ujarnya.

Adapun PT Antam akan membangun pabrik stainless steel pada tahun 2020 dengan kapasitas 600 ribu ton. Di samping itu, terdapat investasi yang akan membangun smelter ferronickel meliputi PT. Bumi Makmur Selaras, PT. Feni Haltim, PT.Antam, PT. Weda Bay Nickel dan PT. Multi Baja Selaras dengan kapasitas total sebesar 1,3 juta ton dandiproyeksikan adanya investasi lain sebesar 200 ribu ton sampai tahun 2025.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan demand produk stainless steel dari tahun 2013-2025, perlu mengoptimalkan bahan baku dari dalam negeri berupa  bijih nikel sebesar 80 juta ton. Sementara itu, guna memenuhi kebutuhan energi atas pembangunan smelter ferronickel dan pabrik stainless steel pada tahun 2025, dibutuhkan kepastian supply energi setara energi listrik sebesar 1.020 MW.

Mengenai kinerja industri logam, kata Putu, pertumbuhannya cukup signifikan mencapai 6,53 persen pada tahun 2015 atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan industri non migas sebesar 5,25 persen dan ekonomi nasional sebesar 4,86 persen pada periode yang sama.

Kemudian dari sisi jumlah perusahaan juga menunjukkan peningkatan, tahun 2010 sebanyak 988 unit menjadi 1.369 unit pada 2014. Diikuti pula peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja, tahun 2015 mencapai 430 ribu orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 342 orang.

Beberapa tahun belakangan, nilai ekspor produk industri logam terus naik. Pada 2014 mencapai USD 9.7 miliar, sedangkan tahun sebelumya sebesar USD 9,1 miliar,” tutur Putu. Sebaliknya, nilai impor produknya menurun, dari tahun 2013 sebesar USD 19 miliar menjadi USD 17 miliar pada 2014.

Sementara itu, nilai investasi industri logam terus meningkat tiap tahun. Pada tahun 2010 sebesar USD 5,7 miliar, tahun 2011 USD 5,8 miliar, tahun 2012 USD 5,9 miliar, tahun 2013 USD 7,7 miliar, tahun 2014 USD 9,1 miliar, dan tahun 2015 USD 12 miliar. "Dari hasil kinerja tersebut, membuktikan industri logam dalam negeri menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi dan penguatan struktur industri nasional," ungkapnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI