Suara.com - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo menyatakan kebijakan moratorium perizinan kapal eks-asing yang diberlakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengakibatkan kekurangan bahan baku perikanan seperti di Bitung, Sulawesi Utara.
"Penyebab kekurangan bahan baku tuna karena moratorium kapal-kapal eks-asing," kata Ketum Gappindo Herwindo di Jakarta, Senin (15/2/2016).
Selain itu, ujar dia, kekurangan bahan baku tersebut juga diakibatkan pelarangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut) yang dikategorikan KKP sebagai kegiatan perikanan ilegal.
Ketum Gappindo mengakui bahwa perusahaan pengolah perikanan di Bitung, Sulawesi Utara, akhir-akhir ini telah kekurangan bahan baku sehingga harus melakukan impor ikan untuk memenuhinya.
"Iya betul (kekurangan bahan baku perikanan). Saya dengar malah mereka impor tuna dari India. Kalau impor dari Thailand atau Filipina, gak boleh oleh KKP," katanya.
Herwindo mengungkapkan, fenomena kekurangan bahan baku itu telah berlangsung lama kira-kira mulai enam bulan yang lalu dan pada Desember 2015 lalu telah dilaporkan ke Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo oleh asosiasi dan pabrik pengolahan tuna.
Sebagaimana diwartakan, produksi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 40 persen dampak penerapan moratorium.
"Harus diakui kinerja perikanan tangkap Sulut mengalami penurunan 40 persen, karena kebijakan moratorium," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Ronald Sorongan di Manado, Selasa (2/1).
Ronald mengatakan, moratorium dari KKP dengan tidak mengijinkan kapal asing dan eks-asing untuk beroperasi ke depan akan memberikan dampak yang cukup besar bagi nelayan dan kapal lokal di Sulut untuk dapat berproduksi lebih banyak lagi, sehingga memberikan nilai tambah yang cukup besar ke Sulut.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DKI Jakarta Yan M Winatasasmita mendesak Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang pungutan hasil perikanan, karena dirasakan sangat memberatkan para pemilik kapal.
PP itu sangat memberatkan pemilik kapal dan tentu saja pada akhirnya berdampak kepada menurunnya kesejahteraan nelayan, kata Yan M Winatasasmita melalui pesan tertulisnya di Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Ia mengatakan pemerintah telah menaikkan pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan melalui PP No 75 Tahun 2015 salah satunya adalah pungutan hasil perikanan (PHP) atas izin penangkapan ikan untuk kapal penangkapan ikan.
Pungutan itu diberlakukan untuk skala kecil dari 1,5 persen menjadi 5 persen sehingga mengalami kenaikan sampai 333 persen. Skala menengah dari 2 persen menjadi 10 persen naiknya mencapai 800 persen, dan skala besar dari 2,5 persen menjadi 25 persen (naik 1000 persen).
Menurut Yan, alasan pemerintah menaikkan pungutan karena hasil tangkapan ikan di laut Indonesia melimpah. Namun dengan diterapkannya kenaikkan pungutan tersebut, dampaknya kepada pengusaha pemilik kapal akan bangkrut karena tak bisa mengoperasionalkan kapalnya lagi, dan membuat nelayan menganggur.
Moratorium kapal eks asing sendiri sebenarnya telah berakhir 30 April 2015. Namun, sesuai rekomendasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) moratorium diperpanjang hingga 6 bulan, atau berakhir pada Oktober tahun lalu.
Namun walau moratorium telah berakhir, Menteri Susi Pudjiastuti tetap menegaskan kapal-kapal eks asing tetap dilarang beroperasi. Susi memastikan, hampir seluruh kapal-kapal eks asing dinyatakan ilegal jika tetap menangkap ikan. Ini karena izin-izin kapal-kapal tersebut sudah berakhir dan tak lagi diperpanjang.
Malahan, ia menambahkan separuh kapal-kapal tersebut sudah lari ke negara tetangga karena tak lagi memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) perusahaan, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). (Antara)