Kementerian BUMN Tunggu Laporan BPK soal Grand Indonesia

Jum'at, 12 Februari 2016 | 04:15 WIB
Kementerian BUMN Tunggu Laporan BPK soal Grand Indonesia
Salah satu acara di Grand Indonesia. (Suara.com/Dinda Rachmawati)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian BUMN belum merima laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tentang dugaan kecurangan PT Cipta Karya Bersama atau Grand Indonesia dalam kerja sama BOT (Build, Operate, Transfer) dengan BUMN PT Hotel Indonesia Natour.

"Kami Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata yang membawahi BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dan menteri BUMN hingga kini belum dapat laporan hasil audit BPK tentang dugaan kecurangan pembangunan kawasan Grand Indonesia," kata Edwin Hidayat Abdullah, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata, Kementerian BUMN di Jakarta, Kamis.

 
Menurut Edwin, kementerian BUMN memang telah menerima laporan dugaan kecurangan pembangunan Grand Indonesia dengan HIN, tapi laporan itu dari Direksi dan Komisaris BUMN PT HIN saja dilampirkan kesimpulan dari laporan BPK.

"Kami masih menunggu laporan lengkap hasil audit BPK. Setelah itu, kami baru akan ambil tindakan hukum atau merenegosiasi bisnis dengan PT Cipta Karya Bersama (CKB). Sambil menunggu laporan resmi BPK, kami terus mempelajari dan mendalami laporan Direksi dan Komisaris PT HIN," kata Deputi BUMN itu.

Belakangan ini, media massa memberitakan pernyataan komisaris BUMN PT HIN Michael Umbas, yang juga relawan Jokowi. Michael membeberkan dugaan kecurangan Grand Indonesia.

"Dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni Hotel Bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I seluas 80.000 m2, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 m2 dan fasilitas parkir seluas 175.000m2," ungkap Michael.

Tapi realisasinya yang tertuang dalam berita acara penyelesaian pekerjaan, 11 Maret 2009, ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski) dimana tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.

Akibat dugaan kecurangan itu, lanjut relawan Jokowi, PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.

Pembangunan dua gedung ini memiliki nilai ekonomis yang cukup besar sehingga setara dengan rencana objek BOT lainnya yang disepakati yakni Hotel bintang 5, Pusat Perbelanjaan I dan II, dan fasilitas Parkir.

"Penambahan dua gedung ini mestinya diajukan sejak awal perencanaan dan tercantum dalam objek BOT. Hal ini jelas tidak sesuai TOR dan perencanaan awal yang disetujui kementerian BUMN. Makanya kami laporkan dugaan praktek curang tersebut ke kementerian BUMN," tegas Michael.

Selain itu, lanjut dia, PT GI juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliharaan, tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.

Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT GI tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya dan ini berpotensi kerugian bagi PT HIN yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.

"Masih ada sejumlah hal lain yang juga kami temukan dan sedang dalami seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT CKBI ke PT GI, terjadi pengagunan HGB ke Bank, serta yang cukup serius, terkait opsi perpanjangan BOT 20 tahun pd tahun 2010 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir," katanya.

"Merujuk pada fakta-fakta tersebut diatas jelas telah memberi dampak kerugian yang besar bagi PT HIN selaku korporasi, dan sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT HIN (November 2015) kami menilai harus ada langkah-langkah penyelamatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," kata Komisaris BUMN PT HIN Michael Umbas. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI