Suara.com - Perbedaan pendapat soal perjanjian konsesi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang belum mencapai kesepakatan antara PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dan Kemenhub dikhawatirkan bisa menganggu iklim investasi.
"Betul. Ini (perbedaan soal konsesi) dikhawatirkan bisa menganggu iklim investasi. Pada umumnya, konsesi itu ditetapkan setelah sebuah proyek dinyatakan laik operasi. Bukan sejak ditandatangani," kata Menteri BUMN Rini Soemarno, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Menurut Rini, dirinya selalu mengikuti perkembangan detil proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Saya mengatakan konsesi itu selalu dimulai dari sejak proyek itu layak operasi. Kereta cepat sebagian lahan kita yang bebaskan atau menjadi punya perusahaan patungan (JV). Jadi suatu hal yang normal jika kita minta konsesi 50 tahun," ujar Rini.
Sebelumnya, KCIC meminta masa konsesi berlaku setelah Kereta Cepat Jakarta-Bandung beroperasi, bukan saat perjanjian konsesi ditandatangani atau izin tersebut dikeluarkan, karena masa pembangunan sendiri akan memakan waktu sekitar 3 tahun.
Sebaliknya, Kementerian Perhubungan memastikan masa konsesi kereta cepat Jakarta-Bandung dihitung 50 tahun sejak ditandatanganinya perjanjian konsesi, dan tidak bisa diperpanjang.
Setelah masa konsesi berakhir, prasarana diserahkan dalam kondisi "clean and clear" atau tidak dijaminkan kepada pihak lain dan dalam kondisi laik operasi.
Rini beralasan jika konsesi ditetapkan sejak penandatangan akan butuh waktu lama, karena setelah dibangun mesti melalui serangkaian uji yang jika berlarut-larut jadwal penyelesiaannya bisa mundur.
"Waktu konsesi ini kan terkait dengan pengembalian utang, karena kita kan berutang. Ini yang kita minta dinegosiasikan lagi," ujarnya.
Rini menambahkan, persoalan konsesi ini seharusnya pro-kepada investasi, apalagi pemerintah mendorong masuknya investor asing dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
"Presiden Jokowi dan Kementerian Perekonomian kan sudah membuat regulasi bagaimana meningkatkan investasi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja di Indonesia," ucap Rini.
Menurut dia, Pemerintah harus terus menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga iklim investasi yang kondusif bagi investor harus betul-betul digalakkan.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada Kamis(21/1/2016) kemarin, Presiden Jokowi telah melakukan groundbreaking pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.
Proyek yang sepanjang 142 kilometer ini dikerjakan konsorsium China Railway International Co.Ltd dengan gabungan empat badan usaha milik negara (BUMN) dan menghabiskan anggaran senilai 5,5 miliar Dolar AS atau Rp74,25 triliun. Adapun 4 BUMN yang menjadi anggota Konsorsium adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebagai pimpinan Konsorsium BUMN, beranggotakan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Perkebunan Negara VIII (PTPN) dan PT Jasa Marga Tbk (JM).
Nantinya, kereta cepat akan terintegrasi dengan mass rapid transit di kawasan Bandung Raya dan light rail transit Jabodetabek.
Integrasi dinilai mampu menghadirkan pertumbuhan kawasan bisnis baru atau transit oriented development dan membantu mengatasi persoalan transportasi di kawasan Bandung dan Jabodetabek. Penduduknya Jabodetabek mencapai sekitar 28 juta jiwa dan warga Bandung sekitar delapan juta jiwa.
Namun dalam perjalanannya, pembangunan fisik infrastruktur kereta cepat belum juga bisa dimulai. Kendalanya adalah menurut Kementerian Perhubungan, penyelenggara proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yaitu PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) belum memenuhi izin konsesi dan izin pembangunan.
Untuk menerbitkan izin pembangunan, KCIC harus memenuhi sejumlah syarat mulai dari surat permohonan, rancang bangun, gambar teknis, data lapangan, jadwal pelaksanaan, spesifikasi teknis, analisa dampak lingkungan hidup (Amdal), metode pelaksanaan, izin lain sesuai ketentuan perundangan, ada izin pembangunan dan 10 persen lahan sudah dibebaskan. (Antara)