Suara.com - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pembentukan MEA belum membuat ekonomi negara-negara ASEAN terintegrasi secara penuh.
"Ada empat alasan mengapa ekonomi ASEAN belum terintegrasi penuh," kata Hikmahanto di Depok, Senin (8/2/2016).
Pertama, kata dia, meski sejumlah negara ASEAN menyatakan bahwa mereka telah memenuhi berbagai aksi yang dituangkan dalam Cetak Biru 2007 hingga diatas 90 persen, namun kenyataannya antara dipenuhi dan tidak terpenuhi tidak terasa.
Ia mengatakan meski belum dilakukan survei akademis namun banyak pihak yang menganggap proses pembentukan MEA baru akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2016, bukan MEA telah terbentuk pada tanggal 31 Desember 2015.
"Ini tergambar dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah, para pelaku usaha dan rakyat pada umumnya," katanya.
Kedua, di era MEA sejumlah negara ASEAN masih bersaing untuk mendatangkan investor dari luar ASEAN. Padahal dengan keberadaan MEA sudah tidak seharusnya lagi antarnegara ASEAN saling bersaing satu sama lain untuk menjadi tempat berproduksi.
Ketiga, lanjut Hikmahanto, dari kacamata pelaku usaha di luar ASEAN meski ASEAN telah menjadikan dirinya tunggal namun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi masih tetap seperti sediakala.
Ia mencontohkan tidak ada perubahan yang signifikan di Indonesia. Dalam survei Bank Dunia terkait kemudahan untuk melakukan usaha (ease of doing business), posisi Indonesia hanya berubah dari peringkat 120 menjadi 109.
Dan keempat kebanyakan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, seringkali terdapat jurang antara peraturan dengan kenyataan. Demikian pula yang ada dalam Cetak Biru 2007 yang diterjemahkan dalam check list yang semuanya dijawab telah dilakukan namun dalam kenyataannya tidak demikian.
"Pada akhirnya ada atau tidak ada MEA, semua pemerintahan negara ASEAN menjalankan pemerintahan secara 'business as usual'. Dalam pemahaman seperti ini maka keberadaan MEA sama sekali bukan ancaman," katanya. (Antara)