Suara.com - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) meminta masa konsesi berlaku setelah Kereta Cepat Jakarta-Bandung beroperasi, bukan saat perjanjian konsesi ditandatangani atau izin tersebut dikeluarkan.
Komisaris PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia Sahala Lumban Gaol selaku pemegang 60 persen saham proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (4/2/2016), mengatakan masa pembangunan sendiri akan memakan waktu tiga tahun.
"Kita menghendaki konsesi itu berlaku sejak izin operasinya diberikan, bukan setelah perjanjian konsesinya itu ditandatangani," ucapnya.
Menurut Sahala, apabila masa konsesi dihitung sejak penandatanganan, maka jangka waktu tiga tahun pembangunan tersebut dinilai tidak berlaku karena tidak menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
"Seyogyanya, pada saat itu lah (setelah pembangunan), masa konsesi berlaku," ujarnya.
Direktur Utama PT KCIC Hanggoro Budi Wiryawan mengatakan menilai pihaknya meminta masa konsesi dimulai setelah beroperasi karena proyek yang digarapnya merupakan murni investasi swasta.
"Kami itu 100 persen swasta, tidak seperti jalan tol, pelabuhan dan yang lainnya yang diberikan pemerintah kepada swasta, seperti jasa marga itu tanahnya dibebaskan pemerintah, enggak perlu pusing investasi," tukasnya.
Hanggoro mengatakan izin konsesi tersebut masih dalam pembahasan dengan pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perhubungan.
Dia mengatakan izin konsesi merupakan salah satu izin yang belum dipenuhi selain izin usaha dan izin pembangunan.
"Kekurangan data kita masih proses, justifikasi satu sampai dua hari bisa kita sampaikan," tuturnya.
Hanggoro mengaku pihaknya tidak menutup-nutupi terkait kelengkapan dokumen yang diserahkan.
"Kami juga sudah menyampaikan izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 'in hand' langsung ke pejabatnya," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko mengatakan masa konsesi tersebut tidak bisa direvisi dan PT KCIC harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dia menjelaskan masa konsesi dimulai sejak keluarnya izin karena dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak ada "fee" atau setoran ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 2,5 persen.
"Konsesi kereta cepat ini tidak seperti proyek lainnya, yang harus menyerahkan 2,5 persen PNBP per tahunnya," imbuhnya.
Selain itu, menurut dia, masa konsesi setelah keluar izin agar pembangunan bisa dipercepat dan tidak molor.
Hermanto menyebutkan persyaratan konsesi lain, meliputi masa konsesi 50 tahun, berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian konsesi dan tidak dapat diperpanjang lagi, jika masa konsesi berakhir, prasarana diserahkan dalam kondisi "clean and clear" atau tidak dijaminkan kepada pihak lain dan dalam kondisi laik operasi.
Dia menambahkan perjanjian konsesi tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah apabila di kemudian hari ada perubahan peraturan perundang-undangan.
Terkait izin pembangunan, Hermanto mengatakan, belum bisa diterbitkan karena ada beberapa dokumen yang kurang.
Adapun, dokumen tersebut terkait rancang bangun, gambar teknis, data lapangan, spesifikasi teknis dan analisis dampak lingkungan.
Dia menambahkan dokumen teknis untuk untuk kilometer 95 sampai dengan KM 100 pada lintas tersebut terdapat tiga buah jembatan dan terowongan sepanjang 2,04 kilometer.
"Tentunya dokumen teknis untuk tiga jembatan dan terowongan tersebut perlu kami pelajari secara detil, mengingat daerah tersebut juga berpotensi gempa bumi," katanya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada Kamis(21/1/2016) kemarin, Presiden Jokowi telah melakukan groundbreaking pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.
Proyek yang sepanjang 142 kilometer ini dikerjakan konsorsium China Railway International Co.Ltd dengan gabungan empat badan usaha milik negara (BUMN) dan menghabiskan anggaran senilai 5,5 miliar Dolar AS atau Rp74,25 triliun. Adapun 4 BUMN yang menjadi anggota Konsorsium adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebagai pimpinan Konsorsium BUMN, beranggotakan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Perkebunan Negara VIII (PTPN) dan PT Jasa Marga Tbk (JM).
Nantinya, kereta cepat akan terintegrasi dengan mass rapid transit di kawasan Bandung Raya dan light rail transit Jabodetabek.
Integrasi dinilai mampu menghadirkan pertumbuhan kawasan bisnis baru atau transit oriented development dan membantu mengatasi persoalan transportasi di kawasan Bandung dan Jabodetabek. Penduduknya Jabodetabek mencapai sekitar 28 juta jiwa dan warga Bandung sekitar delapan juta jiwa.